Taufan

 Halilintar keluar dari kamar Taufan, sebelum turun dari ranjang, bocah itu menepuk-nepuk kepala Taufan lalu keluar dari kamar. Dia memanjat kursi makan dan menatap Ice yang sudah memotong sayur dan daging sapi. Mungkin hari ini Ice ingin memasak sup, biarkan saja lah.


"Kamu bisa masakna?" Ice tersenyum miring, dia menatap Halilintar lalu menyentil dahi kakaknya. "Kalo gak bisa, gak mungkin gw di dapur terus temenin kak Gem sama kak Upan."


"Tapi kok aku ndak boleh?"


"Soalnya nanti lu bakar rumah." Alasan yang membuat bocah mata merah gelap itu cemberut, mungkin iya saat mode biasanya, Halilintar membakar panci kesayangan Gempa. Tapi bukankah itu namanya belajar? Daripada dia tidak mandiri sama sekali memegang dapur.


Ice menuangkan sup nya ke mangkuk yang lebih besar lalu menaruhnya di meja makan, cowok mata biru laut itu mencuci tangannya dan menata piring. Dia memberikan tempat sendok dan garpu ke Halilintar supaya bocah itu menaruhnya di sebelah sup yang sudah dihidangkan.


Saat mereka berdua makan, muncul Taufan yang sudah rapih. Halilintar mengerutkan keningnya, dia ingin membuka mulutnya namun tak jadi karena Taufan duduk di sebelahnya dan mencium pipi kakaknya. "Kok gak bangunin abang? Biasanya bangunin."


"Lama!" Taufan terkekeh kecil, dia mengambil nasi dan sup nya lalu memakan makanannya. Mereka bertiga hening sampai Ice membuka mulutnya. "Lu mau kemana?"


Taufan menunjukkan hp nya, dia tersenyum manis lalu mengusap rambut Halilintar dan Ice. "Ceu, gw titip Lintar sebentar. Ada urusan di toko."


"Kok mas petil ndak kasih tau aku?" Taufan menatap mata merah gelap milik Halilintar, dia memperlihatkan senyumannya membuat bocah itu merasa ketakutan. Bukan, tetapi firasat nya seakan mengatakan bahwa adeknya mengalami hal yang tidak bagus.


"Mas Petir gak mau ganggu lu dulu, gw masih bilang lu harus istirahat. Janji sama gw, nurut ya sama yang lain?" Oke, perkataan Taufan benar-benar membuatnya ketakutan setengah mati. Tolong, ini bukan ucapan yang Halilintar dengar dari Taufan.


——

Halilintar berjalan sendirian di taman, bocah itu duduk di ayunan sambil menatap beberapa bocah seusianya yang bermain bersama. Mengingat bermain, sudah lama Taufan dan dirinya tidak bermain bersama, terakhir waktu dia dan Duri di taman berdua dan Taufan menyusulnya. Setelahnya cowok mata biru langit itu kembali sibuk.


Sesibuk apa kembarannya sampai tidak bisa bermain? Mereka kembali membuat benteng lagi?


"Abang?" Halilintar menatap siluet Taufan yang berjalan keluar komplek, segera saja bocah mata merah gelap itu mengikuti sang kembaran. Dia berlari cepat, kakinya berhenti ketika Taufan berhenti di depan gang sempit. Ini sudah lumayan jauh dari komplek, tapi kalau tidak diikuti, dia tidak dapat mengetahui apa yang dilakukan oleh Taufan.


Bocah itu masuk ke dalam gang, dia terus berjalan sembari meremat baju nya. Mata bulatnya menatap bangunan besar bertuliskan ‘Panti jompo glicth’, matanya mengedip karena kebingungan dengan tulisan itu. Untuk apa Taufan ke sini?


Plakk


"PERGI KAMU! ANAK SIALAN SEPERTI KAMU DAN XAVIER HANYA MEMBAWA SIAL!" Halilintar terkejut, dia bersembunyi di dekat tembok dan menatap wajah Taufan yang hanya terdiam dengan tatapan hampa. Sialan, ternyata Taufan duluan yang sudah tau bunda dimana? Mengapa dia tidak diberitahu?


"Bun, aku di sini mau minta bunda balik ke rumah. Biar kita bertujuh yang ngurus bunda."


"ADEK KAMU BUNUH SUAMI SAYA!" Halilintar membulatkan matanya, dia terus terdiam tak bisa bergerak. Sedangkan Taufan memegang tangan bunda, berharap wanita itu memarahi dirinya saja daripada Blaze atau Halilintar. Tidak, ini salah Taufan, seharusnya dia bisa menyelamatkan ayah dan bunda saat kecelakaan itu terjadi.


"PERGI!! KALIAN BERTUJUH BUNUH SUAMI SAYA!! PERGI!!!" Taufan memundurkan langkahnya, dia menekuk lututnya lalu memegang kaki bunda. Memohon kepada bunda untuk memaafkan keenam saudara nya dan membiarkan dirinya sendiri yang disalahkan. Wanita itu mengangkat kakinya lalu menendang dada cowok mata biru langit itu.


"BANG UPAN!!!" Taufan menoleh ke arah belakang, dia terkejut dengan kemunculan Halilintar yang berlari ke arah nya. Cowok mata biru langit itu memegang tangan kecil Halilintar, dia begitu kebingungan dengan Halilintar. Bagaimana bisa kakaknya ikut ke sini? Bukankah seharusnya di rumah?


"Kamu sudah bunuh suami saya, sekarang bawa anak mu? Sampai kapanpun dia bukan cucu saya! Mana sudi saya punya cucu dari pembunuh kayak kamu!" Wanita itu mengusir keduanya, Halilintar yang mau teriak memanggil bundanya tak sempat karena Taufan langsung menggendongnya menjauh dari panti jompo. Cowok mata biru langit itu berlari jauh dari gang, dia berhenti di depan komplek dan menatap heran kakaknya.


"Kamu ngapain ngikutin abang?"


"Aku khawatil sama kamu, Upan! Aku kakak kamu! Siapa yan ndak khawatil liat adeknya kenapa-kenapa?! Siapa?!" Taufan menghela napas panjang, dia duduk di ruko kosong lalu menatap Halilintar yang masih melihat lengannya yang berdarah. Cowok mata biru langit itu tersenyum miris, dia tidak bisa berkata apa-apa lagi selain terdiam melihat kakaknya yang khawatir terhadap dirinya.


"Ihh, bedalah. Ayo pulang, ntal aku obatin—."


"Bang, menurut lu, gw belum pantas ya jadi sulung gantiin lu?" Halilintar yang tadinya panik sekarang terdiam, dia menatap Taufan lalu memukul kepala kembarannya. "Apa sih? Kamu udah pantas kok! Ndak mungkin kan mau gantiin aku kelja?"


"Tapi gw gagal ngelindungi Aze, gw gagal ngelindungi ayah sama bunda, gw bikin rumah jadi hancur... Terus lu jadi bocah gara-gara gw gak temenin lu di rumah..."


"Pan, aduh!!! Itu di lumah emang ada Solal lese aja, BEBILET IH OMONGAN KU!" Halilintar menarik napasnya perlahan, dia menatap Taufan lalu mencium pipi kembarannya. Bocah itu memeluk erat tubuh cowok mata biru langit itu, dia mengelus rambut adeknya membuat Taufan menangis di pelukannya.


"Anak baik, Upan udah jagain Lintal baik-baik kok, jagain yan lain juga baik-baik. Ndak ada yan gagal, semuanya udah kelja belsama-sama."


"Bang... Dada gw sesek... Maafin gw..."


"Noo, jangan minta maap. Upan anak baik, ndak boleh minta maap telus." Halilintar tersenyum tipis, dia begitu senang Taufan mau mengeluarkan semua kata hatinya, meskipun hanya beberapa yang terpenting Taufan bisa curhat sama dia.


——

Helaan napas keluar dari mulut bocah itu, dia memegang boneka paus milik Ice dan berjalan mengelilingi rumah. Halilintar benar-benar seperti anak yang menunggu sang ayah pulang, bisa ditebak siapa ayahnya yang dimaksud.


Cklekk


"Ngapain mondar-mandir gitu?" Gempa kebingungan dengan kelakuan Halilintar yang selalu mondar-mandir kayak setrikaan, dia mengangkat bocah itu lalu menatap mata merah gelap itu. "Kamu nungguin siapa?"


"Upan, Gem, Upan lom pulang?" Gempa menggelengkan kepalanya, dia membawa Halilintar ke sofa lalu mereka berdua duduk saling berhadap-hadapan. Cowok mata kecoklatan itu menunggu Halilintar berbicara, si bocah menghela napas dan membuka mulutnya. Sayangnya dia tidak jadi bicara karena hp nya berdering.


Segera saja Halilintar angkat telpon itu dan mendengarkan suara dari pihak sebrang. Bocah itu mematung, memastikan bahwa dia tidak salah dengar. Setelah telpon itu diputus secara sepihak, Halilintar menoleh ke arah Gempa lalu menahan tangisannya.


"Gem... Upan... Upan tablakan..."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berubah

Kembali