cari kalian
Taufan duduk di depan lembaga, dia menyenderkan tubuhnya di tembok. Helaan napas keluar, matanya terpejam menikmati angin yang mengenai muka nya. Pikirannya benar-benar berkecamuk semenjak seminggu ini, 4 adeknya susah dihubungi, dan 2 kembarannya yang masih perang dingin.
Taufan mau teriak, tapi tidak akan berguna juga. Ngapain berteriak? Tidak akan membereskan semua masalah, dan dia harus nyari beberapa kata maaf untuk semuanya. Cowok mata biru langit itu masih ingat dengan pertengkaran dimana kedua sulung berantem, dan dirinya yang menarik mereka berdua lalu menceburkan kepala Halilintar dan Gempa di bak mandi.
"OTAK LU BERDUA DIPAKE, ADEK-ADEK ILANG KITA JUGA GAK TAU DIMANA, GW TAU SALAH KITA GAK BECUS NGURUS MEREKA, TAPI APA SUSAHNYA BUAT KALI INI TENANG?! SUSAH?! PERLU GW CEBURIN KALIAN BERDUA DI KAMAR MANDI?!"
"Hallo Kabid gw~," mata biru langit itu terbuka, dia melirik Beliung yang sudah datang. Cowok mata biru langit itu tersenyum manis, tubuhnya menggeser posisi supaya temannya duduk disebelahnya. Beliung duduk dan membuka laptopnya, tangannya terus mengetik sesuatu sampai website entah apa namanya muncul dan memberitahu ke Taufan.
"Adek-adek lu ada di Jogja." Otak Taufan ngeblank, dia membenarkan posisi duduknya lalu melihat kembali web tersebut. "Gimana Li? Jogja?"
"Iya, coba liat lagi." Beliung memberikan laptopnya ke Taufan, cowok mata biru langit itu menatap lekat-lekat dan memeriksa titik merah yang berjumlah 4. Dia terdiam beberapa saat, tangannya meremat menahan gejolak yang ada di dada. Sejauh itu kah adek-adek pergi? Sejauh itu kah mereka bertujuh pisah?
"Makasih Li, gw beneran terima kasih."
"Santai aja sih, tapi nanti gimana lu mau nyusulnya?" Taufan menghela napas panjang, dia mengusap rambutnya lalu menatap Beliung sambil memegang tangan temannya. "Gw mohon... Gw mohon kali ini lu bantuin gw, gapapa harus bayar, gw akan lakuin semuanya demi adek-adek bisa balik ke rumah."
——
Blaze terdiam menatap hp nya, dia kembali memandang foto mereka bertujuh. Cowok mata merah menyala itu membuang muka setiap memandang kakak pertamanya, dia ingat betul bagaimana Halilintar meninjunya dan Gempa yang mengatakan jika dirinya tidak berguna.
Memang tidak berguna kan? Apa rumah selalu ramai semenjak akhir-akhir ini? Tidak kan?
Tangannya mengusap rambutnya, dia menatap cermin di homestay lalu tersenyum manis. "Gw gak kenapa-kenapa, iya, gak akan kenapa-kenapa tanpa mereka. Siapa juga yang peduli..."
"Kalau semisal gw gak ada, dedek mau sama siapa?"
"Lintal ndak ada teman, dong?"
"Kenapa bilang begitu?"
"Bang Aze kan adek kuat, bang Aze bikin Lintal jadi anak kuat."
"Bang... Gw takut gagal..." Lagi dan lagi, Blaze menangis di depan cermin. Ingatan tentang kakak pertamanya waktu jadi kecil membuatnya semakin bersalah, inikah langkah yang dia ambil? Inikah janji yang dibilang ayah?
"Aze..." Cowok mata merah menyala itu mengusap air matanya, dia tersenyum tipis melihat Ice yang datang. Tangannya mengusap rambut kembarannya namun ditepis oleh Ice. "Kebiasaan banget, lu nangis tapi gw gak tau."
"Maaf, gak mau ngerepotin..." Ice mendengus, dia menampar pipi Blaze. "Lama-lama gw tampol lagi!"
"Ceu?!" Ice menggelengkan kepalanya, dia menarik tangan kembarannya untuk jalan-jalan sebentar di Jogjakarta. Mereka berdua berjalan kaki mencari makanan, sebenarnya Ice pengen banget naik delman, hanya saja duluan si Blaze yang mood nya cepat sekali kembali.
Cowok mata merah menyala itu naik kuda, dia dadah-dadah ke Ice membuat cowok mata biru laut itu berteriak sebal.
"KEMBARAN RESEKK!!!"
"DADAH ANAK KECIL~."
——
Helaan napas keluar dari tubuh Duri, dia memberikan gelato ke Solar yang masih rebahan di kasur. Cowok mata hijau gelap itu mengerti, kembarannya pasti masih mikirin ucapan kakak pertama mereka. Ingin rasanya Duri gaplok pala Halilintar, tetapi dia ingat, tidak boleh menantang maut.
"Masih kepikiran yang waktu itu ya?" Solar menoleh ke arah Duri, dia menggelengkan kepalanya lalu kembali berbalik membelakangi kembarannya. Duri memutar matanya, dia menarik tubuh Solar yang membuat cowok mata silver itu terjatuh dari kasur.
"WOI?! SAKIT!!"
"Lagian kamu diam mulu, ntar di ikutin sama lelembut loh." Solar berdiri, dia memukul kepala Duri lalu mengambil gelato yang ada di tangan cowok mata hijau gelap itu. Dengan cepat dia memakan gelato nya, sayangnya teriakan si Duri membuatnya tersedak mengingat belum adzan magrib.
"HEH!! BELUM ADZAN, NGAPAIN DI MAKAN?!"
"ALLAH.... KOK GAK DIKASIH TAU?!"
——
Taufan menghela napas panjang, dia menatap kartu e-toll miliknya. Mungkin berpergian sendiri tidak akan membuat dirinya celaka, toh siapa yang mau mencelakai dirinya selain Taufan sendiri?
Pintu rumah terbuka, Halilintar masuk ke dalam rumah. Mata mereka berdua bertemu, segara saja Taufan menyimpan kartu e-toll miliknya lalu tersenyum manis ke Halilintar.
"Baru pulang?"
"Hmm..." Halilintar berjalan mendekati Taufan, tangan kanannya menepuk kepala adek pertamanya. Awalnya mereka hanya diam sambil menatap mata satu sama lain, Taufan membuka mulut untuk mencari topik namun Halilintar pergi menuju kamar meninggalkan cowok mata biru langit itu.
Oke... Bukan saatnya mereka berdua ngobrol, tidak apa, Taufan akan pamit lewat chat saja.
——
Keesokan harinya Duri dan Ice pergi menuju candi Prambanan, mereka hanya berdua karena Blaze dan Solar masih molor habis sahur. Emang susah mereka berdua diajak jalan-jalan. Duri dan Ice jalan-jalan mengelilingi candi, sesekali mereka foto pemandangan yang indah meskipun terik matahari sangat menyengat.
Cowok mata biru laut itu mengipasi dirinya, dia benar-benar tidak kuat di tempat yang seperti ini. Sesekali Ice melirik para pedagang kaki lima yang berjualan, jadi ingin...
"Astaghfirullah... Puasa..." Tidak boleh batal, ingat itu Ceu!
"Kak! Ayo siap-siap pulang, tapi kita beli oleh-oleh dulu." Ice mengangguk, mereka berdua jalan menuju tempat oleh-oleh. Duri terus menatap gantungan kunci dan sesuatu yang membuatnya penasaran, segera saja dia mengambil banyak gantungan kunci dan satu barang itu. Setelah bayar, mereka berdua kembali ke homestay dengan taksi.
Selama diperjalanan, Duri tak henti-hentinya senyum manis membuat Ice kebingungan. Ada apa dengan anak itu? Jangan bilang saat jalan-jalan tadi dia ketemu sama cewek, makanya senyum-senyum sendiri.
"Dek... Lu gak kenapa-kenapa kan?" Duri menoleh ke arah Ice, dia menggelengkan kepalanya lalu mereka berdua turun dari taksi dan masuk ke dalam homestay. Duri masuk ke dalam kamarnya, dia mengeluarkan semua oleh-oleh miliknya dan kembali melirik barang yang menurutnya unik.
Asbak rokok berbentuk candi Prambanan, entah apa yang dia pikirkan tetapi menurutnya lebih bagus daripada jadi asbak. Lantas apa?
"Ri, lu ngapain beli begituan?" Tanya Solar yang baru saja bangun dari tidurnya, cowok mata silver itu menatap kembarannya yang malah naro alat tulis di situ. "Ri... Itu asbak, ngapain lu taro alat tulis di asbak?"
"Naro alat tulis kan bisa, daripada gak digunain sama sekali." Ice yang baru mau masuk kamar tidak jadi, dia langsung menoleh ke kamar sebelah dan melihat apa saja yang dibeli sama Duri. Asbak? Sebentar... Dia gak ngeh sama sekali tadi adeknya beli itu?
"Duri? Lu beli beginian buat apaan dah?" Ice menghampiri Duri, dia mengambil asbak tersebut lalu menatap heran adeknya dan menatap asbak. Yang ditatap cuma cengengesan sambil menunjukkan kegunaan nya selain menjadi tumpuan abu rokok.
"Naro alat tulis bisa kali, kak. Daripada digunain jadi asbak rokok, sekalian aja alat tulis masuk deh." Ice dan Solar terdiam setelah mendengar ucapan Duri, kedua cowok itu saling tatap lalu menggelengkan kepalanya masing-masing karena sudah lelah dengan kelakuan Duri.
"Eh, besok mau ke pantai?" Blaze datang dari kamar sebelah sembari menunjukkan foto pemandangan indah di pantai Parangtritis, ketiga adeknya menoleh ke Blaze lalu mengangguk mengiyakan ajakan Blaze.
"Tapi jangan siang, kalau siang panas."
"Sore lah, ya kali siang. Lu mau jadi ikan asin dadakan?" Ketiganya menggelengkan kepala, sepertinya memang bagus mereka berempat beristirahat sejenak di Jogja sembari menunggu keadaan membaik dan juga.... Semoga mereka mencari keempatnya.
Komentar
Posting Komentar