Menghilang

Supra berlari kencang, dia benar-benar ketakutan setengah mati. Orang-orang itu... Lagi-lagi mengejarnya, bahkan lebih parah dari yang sebelumnya. Cewek mata merah keemasan itu membuka mulutnya untuk meminta tolong, sayangnya tangan dari salah satu orang itu membekap mulut Supra dan akhirnya dia dibawa entah kemana.

——
Frostfire mondar-mandir menunggu Supra pulang, seharusnya adeknya itu sudah datang ke rumah dengan cengiran khas nya. Ini tidak, dimana anak itu?

"Mas... Duduk dulu..." Glacier duduk di sofa, dia memperhatikan kakak pertamanya yang mondar-mandir di depan pintu rumah. Matanya tak lepas menatap pintu rumah, sedangkan Frostfire sendiri menghela napas dan memijat keningnya. "Gw khawatir berat... Gw khawatir sama San..."

"Sama kok, kita juga khawatir. Mamas tenang dulu... Duduk sama gw sini." Frostfire menghela napas panjang lalu duduk di sebelah Glacier, dia masih belum bisa tenang karena Supra belum mengabari nya lagi. Belum selesai dengan pikirannya, tiba-tiba saja sambungan telpon dari Blaze membuat cowok mata biru merah itu mengangkat dan terdiam.

"Bang, si Supra diculik..."

"Hah? Tapi kok—."

"Gw gak tau, penculiknya malah telpon gw."

".... terimakasih Aze, datang ke rumah gw dan kita cari Supra." Frostfire menutup telponnya sepihak, dia menatap Glacier yang juga menunjukkan wajah paniknya. Sebelum Frostfire membuka mulut, Sori turun dari kamarnya dan berlari menuju garasi. Cewek mata mint itu benar-benar ketakutan setengah mati mendengar kabar kembarannya diculik.

"Wicak... WICAK?! TUNGGU!!"

"KENAPA CAHYA?! KENAPA CAHYA?!"

——
"Cahya!" Bocah mata merah keemasan itu terdiam, tangannya yang sedang menyusun balok Lego terhenti dan menatap wajah kembarannya. Si bocah mata mint itu tersenyum manis lalu menunjukkan gambar yang dia bikin.

"Aku bikin beginian! Gimana? Bagus gak?"

"Bagus... Tapi kenapa cuma berenam? Ibuk sama ayah gak digambar?" Bocah mata mint itu menggelengkan kepalanya, dia merasa kedua orangtuanya tak perlu masuk dalam gambarannya. Kembarannya terkekeh kecil lalu menepuk kepala si bocah mata mint itu.

"Aku sukanya kita berenam, ada dedek Angga sama dedek Juna, terus mamas sama bang Acil, terus kita berdua deh!"

"Oke? Tapi bantu aku susun balok dulu." Mereka berdua akhirnya menyusun balok Lego, hanya ada keheningan di ruang tengah sampai suara bayi terdengar nyaring dan suara larian dari si sulung yang berusaha menenangkan bayi tersebut. Mata mint itu tak bisa lepas menatap sang kakak pertama yang berusaha menenangkan si bontot pertama, dia ingin merasakan setidaknya sekali menenangkan adeknya tetapi selalu dihalang kakaknya dengan kata-kata 'masa bayi tenangin bayi sih?'

"Wicak... Kenapa?" Bocah itu menggelengkan kepalanya, dia memainkan balok Lego itu lalu menatap si bocah mata merah keemasan itu. "Cahya... Janji yuk! Nanti gede jagain adek-adek."

Tangan mungil itu terhenti kembali, dia menatap mata binar milik kembarannya dan dibalas kekehan oleh si pemilik mata merah keemasan itu. "Janji? Kan aku udah janji jagain kalian, bagaimana sih?"

"Ihh bukan itu!!"

"Terus apa, Wicak? Kita juga udah bantu mamas sama abang ngurusin dedek-dedek." Bocah mata mint itu menggelengkan kepalanya, dia mengangkat kelingkingnya dan menarik tangan kanan kembarannya supaya dibalas. "Cahya!! Wicak mau jadi kayak Cahya!! Mau bisa lindungi adek-adek. Cahya janji kan bakalan temenin Wicak buat jagain mereka?"

Tawa si mata merah keemasan itu lepas, dia benar-benar tidak menyangka jika kembarannya berani berkata seperti itu. Setelah tertawa, napasnya mulai diatur lalu mengangguk semangat. "Cahya janji kok... Cahya mau temenin Wicak jagain adek-adek nanti."

——
Brukk

"Arkhh..." Tubuh Supra terbanting keras, dia meringis menahan sakit yang sayangnya dibalas cekikan dari salah satu penculiknya. Cekikan nya yang begitu kasar hampir membuat nya pingsan, untungnya tenaganya masih ada yang langsung meninju wajah si penculik.

"Bangsat... L...lepasin...." Tangan kiri Supra memukul kencang lengan penculik itu, sayangnya tubuhnya benar-benar dibuat tegang karena perlakuan kasar mereka terhadap dirinya. Cewek mata merah keemasan itu berusaha menendang milik si penculik, sayangnya lagi-lagi terpojok yang membuat pinggangnya mati rasa.

"Lepasin gimana? Cantik gini dibebasin? Ya kali."

"G...gw cowok, bangsat..."

"Sstt... Diam aja lonte, lu tuh diculik lumayan buat dijadiin mainan." Supra menjambak rambut si penculik lalu menendang wajahnya dengan siku kakinya, merasa bebas, segera saja dia berlari menjauh dari gudang. Sebelum menghampiri pintu gudang, tubuhnya lagi-lagi dibekap oleh mereka dan akhirnya hanya ada suara Supra menjerit keras serta tawa licik dari para penculik.

——
Dua hari... Mereka berlima kehilangan jejak Supra, dimana dan entah kemana anak itu hilang benar-benar membuat serumah ketakutan. Frostfire menggigit bibir bawahnya, merasa gagal melindungi adeknya karena membiarkan Supra keluar sendirian.

Harusnya waktu itu Frostfire nekat keluar temanin Supra, harusnya dia bodo amat sama sakit panasnya. Harusnya...

Belum selesai masalah Supra menghilang, tiba-tiba saja dia mendapatkan kabar dari sekolah jika kedua adeknya makan diam-diam. Sebenarnya ini hal sepele, dia tau kedua bocah itu telat sahur karena dia juga masih sakit, tapi di situasi yang kurang kondusif?

"BISA GAK LU BERDUA GAK NGULAH?! KAKAK LU HILANG, TERUS LU BERDUA MOKEL?! LU BERDUA NYARI PERHATIAN ATAU GIMANA HAH?!"

"Maaf mas..." Telinga Gentar merunduk, ekornya bergerak pelan mengenai lantai. Dia benar-benar salah mencari perkara, cowok mata merah kecoklatan itu menghela napas berat mendengar suara berat serta amarah dari Frostfire. Hampir saja cowok mata biru merah itu meninju wajah Gentar, Glacier mencegah tangan Frostfire lalu menatap tajam sang kakak.

"Bisa selesaikan dengan cara tenang?"

"ADEK LU NYARI PERKARA TERUS! BISA GAK USAH NGULAH SEHARI?!"

"Ya tapi gak pake kekerasan?!" Frostfire terkekeh kecil, dia meninju wajah Glacier lalu menarik kerah adeknya. Matanya menatap tajam mata biru kecoklatan milik Glacier. "Dia gak dikasari gak dengerin kata gw... Dengerin lu juga gak?! ENGGAK KAN?!"

"Mas... Bang... Jangan berantem..." Gentar ingin menghalangi mereka berdua, sayangnya tubuhnya terhuyung akibat darah rendahnya yang kumat. Sopan dan Sori berusaha memisahkan keduanya tetap saja tenaga mereka tidak sekuat mereka berdua. Glacier tersenyum miring, tangan kanannya meninju sudut bibir Frostfire lalu menarik kerah baju kakaknya.

Mata tajamnya begitu menyorot, napasnya memburu tak menghentikan emosinya terhadap sang kakak. Kembali dia layangkan tinju ke wajah Frostfire lalu membanting tubuh sang kakak, membiarkan Frostfire merasakan dampak sakitnya. "HARUS PAKE KEKERASAN?! AYO SAMA GW! LAWAN GW, BANGSAT! KALAU PERLU BIKIN GW MATI DULUAN JUGA GAPAPA!"

"ABANG!!" Sopan memeluk tubuh Glacier, dia terus berusaha menenangkan kakak keduanya. Mata kalbunya melirik Frostfire yang mengangkat vas bunga, segera saja Sori menghadang kakak pertamanya dan menangis menenangkan Frostfire.

"LU GAK TAU RASANYA CAPEK, CIL! GAK TAU RASANYA NGURUS KALIAN DARI KECIL! GW YANG NGURUS, GW YANG MATI-MATIAN NYARI KERJA DARI KECIL SAMPAI SEKARANG, DAN INI BALASAN KALIAN SEMUA?!"

"SAN HILANG, MEREKA BERDUA NYARI MASALAH, GW CAPEK KESANA KEMARI CUMA NGURUS KALIAN TAPI MEREKA BERDUA MASIH BADUNG BEGINI!"

"Mas... Maaf... Cukup berantem nya..." Gentar memegang kaki Frostfire, memohon berhenti. Sulung Ngalengka itu hanya menatap tajam kedua adeknya lalu menatap Glacier yang masih ditenangi oleh Sopan. "Gw mau cari San sendirian, urus sana dua siluman kucing!"

"Mas?! Wicak—."

"DIRUMAH!" Bentak Frostfire yang dibarengi dengan bantingan pintu, rumah begitu hening sampai Glacier merasakan sesak napas. Tangan kirinya meremat baju nya, Sopan yang peka langsung menjauh dari kakaknya dan menyuruh Sori menggotong tubuh Glacier. Sori menatap sengit adek bontotnya tetapi dia menuruti perintah Sopan, segera saja cewek mata mint itu menggotong tubuh Glacier menuju kamar dan memberikan inhaler milik kakak keduanya.

Belum selesai memberikan inhaler, dia baru sadar jika milik Glacier sudah habis. Sial... Mau tidak mau bawa ke rumah sakit...

——
Supra membuka matanya, dia melirik jendela gudang. Malam... Entah sudah jam berapa tetapi yang dia tau jika malam begitu larut. Tubuhnya dipaksa untuk duduk, mata merah keemasan itu melirik kakinya. Sial, dia benar-benar merasa kesakitan akibat tubuhnya dibanting keras.

"Lu kuat... Lu kuat... Ayo keluar dari sini..." Perlahan dia berdiri, kakinya melangkah keluar menuju gudang. Meskipun harus terseok-seok, setidaknya dia bebas dari para penculik itu. Matanya melirik jalanan yang sepi, dalam hati berdoa semoga saja mereka tidak mencarinya.

'San takut... San takut, mas... Cahya mau pulang, Wicak...'

Ingatannya kembali berputar, dia masih ingat jika ibuknya membenci dirinya. Ibuk hanya mengharapkan Sori lebih baik darinya, jelas mengapa dia disiksa lebih parah daripada kembarannya. Supra ingin teriak, menangis, tetapi dia tidak mau melepaskan semua emosi nya, dia tidak mau orang-orang tau tentang isi hatinya saat ini.

"KENAPA HARUS KAMU YANG LAHIR?! KENAPA BUKAN KEMBARAN MU SAJA?!"

'Buk... Bahkan aku berharap demikian... Aku ingin kalian fokus dengan Wicak daripada aku...'

"Gara-gara mas Cahya, mas Frost sama bang Acil harus dapat banyak siksaan."

'Angga... Aku juga gak mau bikin mereka berdua sakit kayak aku...'

"Cahya, janji kan mau bantu aku jagain adek-adek?"

"Gak Wicak... Gw gagal... Mereka lebih berharap lu yang gantiin gw daripada gw hidup..." Supra berhenti didepan tiang lampu, tangannya memegang tiang lampu. Kepalanya benar-benar pusing dengan ingatan buruknya, rasanya benar-benar di hantam batu yang besar. Kakinya gemetar menahan rasa sakit, matanya berkunang-kunang, ini benar-benar malam yang siap baginya.

"HEH BANGSAT! MAU KEMANA LU?!" Supra menoleh ke arah belakang, matanya membulat sempurna melihat para penculik itu mengejar dirinya. Segera saja Supra lari dari sana dengan cepat, masa bodo dengan rasa pusingnya, yang dia mau hanya bebas dan kembali ke rumah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berubah

Taufan

Kembali