skripsi syalan

Glacier mengacak-acak rambutnya, dia benar-benar sudah diambang kewarasan. Bisa-bisanya dia memikirkan bagaimana caranya agar bab 2 terisi meskipun hanya kerangka saja. Masalahnya dospem nya mulai kabur-kaburan, dan dia butuh sekali revisi dari sang dospem yang menghilang ditelan bumi.

Ini baru bab 2, belum beberapa bab lagi, dan juga ketemuan sama dospem... Alamak tepar beberapa kali pasti.

"Woi... Jangan bangong." Glacier tersentak, dia melihat sang kakak yang menaruh cookies dan susu coklat hangat di meja ruang tamu. Cowok mata biru merah itu mengusap rambutnya, dia melirik sang adek yang bengong menatap laptop.

Stress nih orang...

"Mas... Gw udah gak sanggup..." Frostfire menghela napas panjang, dia menatap Glacier yang menatap horor laptop. Oke, skripsi memang menakutkan bagi yang baru mengerjakan, seharusnya tidak masalah jika Glacier bilang seperti itu. Tapi... Yang Frostfire takut itu, adek pertamanya nangkring di roof top sambil joget-joget.

Sebentar... Seharusnya dia tidak memikirkan hal yang seperti itu, Acil bukan San yang jametnya tiada terkira. Acil cuma lelembut aja, kok.

"Dek... Mending kita—."

"Mas... Lu pernah gak sih ngejar dospem?" Frostfire menggelengkan kepalanya, dia saja bukan lulusan S1. Cowok mata biru merah itu mengelus rambut Glacier, menenangkan pikiran sang adek yang mulai berkecamuk. "Dek, gw Diploma bukan kayak lu pada yang Sarjana. Tapi tetap gw semangatin kalian, jangan tiba-tiba lu ngaco ngomong hal lain."

"Ini kalau kesekian kalinya gw balik ke kampus cuma karena khatamin plat mobil dan motor dosen pembimbing, jangan kaget ya."

"Gw gak bakalan syok, paling kalau tetiba lu nangkring di roof top fakultas lu, baru gak bisa berkata apa-apa lagi." Glacier tersenyum manis, dia kembali mengerjakan skripsi nya meskipun disambi mencak-mencak gak jelas. Frostfire menemani adeknya, dia tidak pergi dari sana sebelum Acil nya selesai dengan laptop.

——
Di hari selanjutnya, Glacier kembali menatap layar laptop. Kerangka skripsinya ditolak setelah mengajukan revisi, jangan salahkan Glacier, dia sudah berusaha merekam dan mengikuti instruksi dari dosen pembimbing nya.

'Bagian ini kamu ubah dulu, terus juga, rumusan masalahnya masa begini? Kurang menonjol.'

"Allahuakbar... Apanya yang di tonjolin? Kurang jelas apalagi..." Cowok mata biru kecoklatan itu mengusap wajahnya, dia kembali mengetik beberapa kalimat. Kali ini tidak ada Frostfire, hanya ada lampu belajar dan bunyi jam dinding di kamar. Dia tidak ingin mengerjakan di ruang tamu, ada ayah yang selalu mengawasi nya setiap Glacier ingin berteriak.

Matanya sudah ngantuk, tetapi pikirannya masih terus bekerja. Memaksa lebih tepatnya, jika tidak dipaksa, kapan kelarnya kerangka skripsi yang sudah dia bikin?

"Aduh... Kepala gw nyut-nyutan..." Glacier keluar dari kamarnya, dia berjalan pelan menuju dapur. Tangannya meraba lemari bagian atas, setelah dibuka, terlihat dari pancaran matanya yang berbinar menatap rentengan kopi milik Supra.

Ya... Setiap malam sebenarnya Glacier selalu mengambil kopi milik Supra, entah untuk menonton drama China ataupun mengerjakan tugas yang termasuk skripsi. Segera saja dia membuat kopi lalu membereskan sampah yang ada di meja dapur, tangannya memegang gelas sedangkan kakinya melangkah pelan menuju kamar.

"Alhamdulillah kopi ada, tapi belum makan nasi... Gak papa lah ya, mamas gak akan ngamuk parah ini." Semoga saja lambung mu aman, Glacier...

——
Frostfire menghela napas panjang melihat selang infusan yang mengalir, matanya tak lepas menatap wajah Glacier yang pucat pasi dengan bibir yang bergetar. Cowok mata biru merah itu menahan tangisannya, dia benar-benar tidak menyangka jika adek pertamanya tumbang karena terlalu stress dan sering meminum kopi setiap malam.

Apalagi asma nya kambuh, semakin banyak rasa bersalah sang kakak kepada Glacier. Jikalau Frostfire tau yang sebenarnya, pasti Glacier di omelin dan di gampar habis-habisan.

"Lu kenapa bisa tipes sih... Kenapa bisa sakit parah gini..." Gentar dan Sopan yang bersiap masuk ke dalam ruang inap langsung berhenti, keduanya saling tatap lalu mengangguk dan pergi menuju taman. Tidak ingin mengganggu waktu kedua sulung itu.

"Udah tipes... Tambah asma... Udah kek... Gw gak mau lu kambuh terus..." Frostfire menghela napas panjang, dia terus mengelus rambut dan tangan kanan Glacier. Sang empu hanya memejamkan mata, pertanda bahwa dia pingsan dan masih menunggu kondisi apakah dia membaik atau semakin memburuk.

Masker oksigen terpasang di wajah si pemilik mata biru kecoklatan itu, napas nya teratur mengikuti irama detak jantung. Frostfire melepas genggaman tangannya lalu berjalan menuju wastafel, kedua tangannya membasuh wajahnya yang terlihat lelah, matanya menatap cermin.

Sial... Dia benar-benar khawatir dengan adek nya yang lelembut itu.

"Mas..." Segera saja Frostfire menghampiri ranjang Glacier, dia menatap wajah pucat itu dengan tangan gemetar saat memegang pipi tirus sang adek. Yang ditatap hanya tersenyum tipis, merasa bersalah membuat sang kakak khawatir.

"Masih sakit? Ada yang sesak? Atau pusing?"

"Enggak... Tenang..." Frostfire menggelengkan kepalanya, matanya berkaca-kaca menahan rasa sesak di dada. Cowok mata biru merah itu menghela napas panjang lalu mengusap air matanya, dia tidak ingin Glacier melihatnya menangis. Namun, Glacier yang sudah melihatnya hanya tertawa kecil sambil mengejek.

"Malah nangis... Gw kuat... Loh..."

"Apaan?! Gw khawatir sama lu! Bisa-bisanya gak ngomong sama gw kalau sakit parah! Mana asma lu kambuh waktu di kamar!"

"Maaf ya... Gak usah cengeng..." Tangan kiri Glacier menepuk ranjangnya, menyuruh sang kakak duduk di sebelahnya. Frostfire hanya mengikuti instruksi dari Glacier, dia duduk di sebelah sang adek lalu mengelus rambut cowok mata biru kecoklatan itu. Meskipun lepek akibat keringat, entah mengapa kondisi tubuh Glacier seakan membaik setelah berkeringat.

"Jangan sakit lagi... Bilang gitu kalau inhaler lu habis, gw takut kenapa-kenapa sama lu."

"Iya iya... Gw bakalan ngomong..."

"Yaudah tidur, nanti makan siang, gw suapin."

"Iya mamas..."

"Jangan iya-iya aja!" Glacier tertawa kecil melihat Frostfire yang mencium tangan kirinya, biarkan saja kakaknya itu, paniknya menurut cowok mata biru kecoklatan itu sangat lucu. Tangan kirinya mengusap wajah Frostfire, membuat si empu menatap wajah Glacier dengan tatapan bertanya.

"Mas..."

"Hmmm? Kenapa, dek?" Matanya menatap wajah Frostfire dalam, membuat cowok mata biru merah itu penasaran. Adeknya mau ngomong apa?

"Mamas beneran belum punya calon... Kan?" Berikan kekuatan kepada Frostfire, ya tuhan...

——
Meskipun hanya 3 hari di rumah sakit dan kondisi Glacier memang belum sembuh, tetap saja cowok mata biru kecoklatan itu meminta pulang karena sudah kangen dengan spot memancing yang dia idam-idamkan. Supra dan Gentar saling tatap, mereka merasa kakak kedua mereka ini sudah memasuki fase gila.

Bukan gila lagi sih... Emang udah gak waras aja.

"Boleh pulang, tapi keluarganya tetap menjaga kesehatan nya. Jangan minum kopi, jangan makan mie, jangan telat makan!"

"Itu dokter rambut hijau neon bacot amat..." Supra memukul mulut Glacier, matanya melotot ke arah kakak keduanya lalu melirik ke arah kakak pertamanya yang mengacungkan jari tengah ke dokter rambut hijau neon tersebut. Mungkin mereka kenal? Kok Supra keinget sama Twitter nya si Arimba Arimba itu ya?

"Ayo pulang, gw gendong sini si Acil." Glacier tersenyum lebar, kakaknya menggendong nya di pundak. Cowok mata biru kecoklatan itu melet ke Supra, sedangkan si sulung ke 3 Ngalengka itu menghentakkan kakinya merasa kesal dengan sang kakak kedua.

"Bye bye anak kecil~."

"Bacot ih, Abang!!!!"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berubah

Taufan

Kembali