surat
Cahaya duduk di ujung sofa, dia memainkan ujung baju sambil memerhatikan para kakak-kakaknya yang sedang bermaaf-maafan. Helaan napas keluar dari dirinya, mengingat dia sendiri belum meminta maaf ke Daun. Apakah Daun akan memaafkan nya setelah berkunjung nanti?
"Dek, lu ngapain bengong? Gak berburu THR?" Cowok itu mengangkat tinju nya, dia menatap sengit kakak ke empatnya, sedangkan Api hanya tersenyum lebar sambil menyemil opor ayam. Mereka berenam mulai membereskan meja-meja dan membuka pintu untuk para tamu, banyak yang datang dan banyak pula yang menagih THR.
Sebisa mungkin Cahaya tidak menjulid, mengingat Solar selalu jadi korban julid nya, bisa tahan banting juga anak itu.
"Wih, sudah dewasa semua, sudah siap ya meminang wanita." Petir, Angin dan Athar hanya bisa tersenyum tipis dan mereka bertiga menanggapi jawaban dari salah satu ibu-ibu tadi, sedangkan kembar tengah R.E.M kabur dari rumah supaya tidak mendapatkan pertanyaan aneh-aneh. Hanya Cahaya yang menetap di ruang tamu, dia bermain dengan anak-anak sambil menyusun beberapa balok Uno.
"Kak Cahaya gagal!!!"
"Enak aja?! Kakak bikin kamu kalah!" Cahaya kembali menyusun balok-balok Uno, dia menarik perlahan lalu menaruh nya di atas balok yang lain. Cowok itu tersenyum miring ke arah bocah di sebelahnya, bocah itu berdecak sebel lalu ikut perlahan menarik balok dan menaruhnya di sebelah balok milik Cahaya. Lalu Cahaya kembali memainkan balok Uno dan akhirnya balok-balok tersebut jatuh.
Cahaya hanya bisa terdiam dan menghela napas panjang, sedangkan bocah di sebelahnya bersorak-sorai gembira karena menang melawan si guru yang rumornya paling terkenal daripada murid-muridnya. Jikalau orang-orang mengetahui perilaku meminum ramuan, apakah akan tetap disebut terkenal?
"Kakak! Aku pulang dulu!" Cahaya tersenyum tipis lalu melambaikan tangannya kepada bocah itu, si bocah pergi dari rumah dan kembali menjadi sepi setelah para tamu pergi dari rumah. Meskipun sekarang cahaya matahari mulai bersinar terang, entah mengapa hari raya yang dia harapkan seakan tak membekas pada hatinya.
Petir berdiri dari sofa, dia menghampiri sang adek lalu menepuk kepala Cahaya. Cowok itu menoleh ke arah sebelah, dia menautkan kedua alisnya seakan kebingungan dengan raut wajah Petir yang susah dinalar.
"Kenapa? Kok muram gitu?" Cahaya menggelengkan kepalanya, dia tidak ingin berbicara kepada kakak nya. Jujur saja, dia takut... Takut kalau kakak nya marah. Cahaya masih... Kurang menerima kepergian Daun yang sudah satu tahun, kalau dia berbicara, apa Petir mendengarkan keluh kesahnya?
"Gw gak kenapa-kenapa, eh kak, gw izin ya."
"Kemana?" Cahaya tersenyum manis, dia menatap bingkai foto di dinding ruangan. Memandang foto Daun yang memainkan piano, cowok itu menghela napas panjang dan kembali menatap sang kakak. "Gw izin pergi, mau ke makam dulu."
——
Orion Daun Rises
Nama yang pertama kali Cahaya lihat, setelah mengobrol dengan Rimba beberapa menit—lebih banyak gelud daripada ngobrol ala bapak-bapak—cowok itu tersenyum manis lalu mengusap papan nisan Daun.
"Maaf kak... Gw baru mampir sekarang..." Cahaya masih ingat betul, apa impian Daun sebelum kecelakaan itu merenggut nyawa sang kakak ke-enam nya. "Dek, kalau kakak balik lagi, ajak yang lainnya ya? Kakak mau foto sama mereka, gak papa kalau habis foto mereka langsung hapus. Yang penting kakak simpen buat kenang-kenangan."
"Gw gak bisa ajak mereka... Gw takut mereka berlima maki lu lagi... Udah cukup selama lu hidup di maki terus sama mereka berlima..." Cahaya menahan tangisannya, dia tidak ingin kakak nya mendengar suara nya yang menangis. Cowok itu tau betul, kakak ke-enam nya paling anti mendengarnya menangis, kalau nangis, Daun akan pergi dan membawa buku berisi catatan note piano untuk memukul kepala nya.
Cahaya menatap langit siang yang panas lalu menatap bunga matahari yang berada di atas gundukan tanah milik Daun, cowok itu tidak kuat menahan tangisannya, dia mengeluarkan semuanya di depan makam Daun.
"Kak... Gw masih kecewa... Gw gagal cegat lu lebih awal... Harusnya lu jangan pergi..."
"Kak Daun... Satu tahun bukan waktu yang sebentar... Gw gak bisa lupain lu... Gak bisa..."
"Kak... Ayo pulang... Ayo peluk gw lagi... Ayo omelin gw yang suka ngatain Rimba..." Cahaya menarik napasnya perlahan, dia terus mengusap air matanya sembari mengoceh meminta Daun kembali. Kenyataan bahwa kepergian Daun lebih menyakitkan untuk Cahaya, bukan untuk sementara, melainkan untuk selamanya.
Cahaya betul-betul mengharapkan kehadiran Daun, meskipun sebatas mimpi... Dia hanya ingin Daun datang ke mimpinya dan menyuruhnya untuk tetap bersamanya. Cahaya hanya ingin bersama Daun...
"Kak... Gw pamit dulu... Gw harus pergi, ngurus nilai anak-anak lagi..." Tangan kanannya mengusap papan nisan Daun, dia berdiri lalu berjalan menjauh dari makam Daun. Setelah keluar dari pemakaman, Cahaya mengeluarkan hp nya, dia menatap foto Daun yang tersenyum manis.
"Gw gak tau kapan balik ke sini, semoga masih bisa ngunjungi lu."
——
Athar membereskan beberapa barang milik Daun, tangannya dengan lihai memasukkan beberapa barang ke dalam kardus. Saat cowok itu membereskan bagian atas meja belajar, dia terdiam sejenak melihat kertas yang memiliki bercak darah.
Athar tau, Daun seringkali menyakiti dirinya sendiri, tetapi di atas kertas? Apa gunanya?
"Anak ini... Hahhh..." Helaan napas keluar dari Athar, dia mengambil kertas itu lalu terdiam membaca isinya. Setelah membaca pesan tersebut, Athar terkekeh kecil lalu memukul kepalanya sendiri. "Bodoh... Daun... Maafin mamas.... Maafin mamas... Mamas salah bikin kamu jadi pergi selamanya..."
Athar terduduk lemas di lantai kamar Daun, dia menahan air mata supaya tidak dilihat oleh kakak-kakak dan adek-adek nya. Cowok itu berusaha berdiri, dia berjalan pelan menuju ruang tamu. Matanya kini menyoroti si sulung pertama R.E.M, kakinya melangkah pelan membuat Angin yang sedang tertawa terbahak-bahak bersama Api langsung terdiam melihat kembarannya yang menahan sesuatu.
"Thar... Lu kenapa?" Athar menggelengkan kepalanya, dia menunjukkan kertas yang memiliki bercak darah. Angin yang paham dengan kondisi Athar langsung mengambil kertas tersebut, dia menatap Api dan Air yang sudah memposisikan diri duduk. Sedangkan Petir yang berada di ujung sofa menatap heran adek pertama nya, kenapa serius sekali membaca kertas tersebut? Apa isi nya?
"Terakhir kali kita ke makam Daun, kapan?" Pertanyaan Angin berhasil membuat ke-empat saudaranya terdiam, mereka semua tidak berbicara sama sekali sampai Petir angkat bicara. "Kalian ada waktu gak? Daun nungguin kita semua buat mampir."
"Ada Cahaya kan? Kenapa harus kita?" Api mendengus, dia pergi menuju kamarnya meninggalkan saudara-saudara nya di ruang tamu. Air menghela napas panjang, dia menatap isi kertas tersebut lalu tersenyum tipis. Dada nya begitu sesak melihat isi kertas milik Daun, merasa bersalah dan gagal untuk meminta maaf ke adek nya.
"Api masih belum terima Daun pergi?" Tanya Athar yang menatap Air, yang di tatap hanya terkekeh kecil lalu menatap bingkai foto tiga bocah dengan berbeda warna baju sambil tertawa bersama. "Dia masih belum nerima... Kita tunggu aja, Api bukan kakak yang gak peduli, ketutup gengsi aja kayak mas Petir."
——
Cahaya masuk ke dalam rumah, dia menatap kakak ke-lima nya yang sedang duduk sambil memegang bingkai foto. Cowok itu merasa kebingungan dengan kakak nya, sedangkan kakak nya hanya menatap dirinya lalu mengayunkan tangannya untuk menghampirinya.
Cahaya mendekati Air, dia duduk di sebelah sang kakak lalu menatap bingkai foto. Siapa yang Air tatap sampai-sampai mata kakak ke-lima nya membengkak?
"Mas? Kenapa?"
"Gw mau minta maaf ke Daun, tapi gimana cara nya? Dia udah gak ada... Dia pergi sama capeknya."
"Kenapa gak mau datang ke makam nya? Kan bisa sama gw," cowok itu menggelengkan kepalanya, dia menatap mata coklat milik Cahaya lalu tersenyum tipis. Tangan kirinya mengusap rambut Cahaya, dia mengeluarkan kertas dengan noda bercak darah dan memberikan nya kepada Cahaya.
"Ini apa?"
"Dari Daun, buat kita semua." Air berdiri, dia melambaikan tangannya lalu pergi menuju kamar meninggalkan Cahaya dengan rasa yang amat kebingungan. Cahaya hanya bisa menghela napas panjang, dia membuka kertas tersebut lalu membaca isinya.
Rises Elemental Memoria (?)
Seseorang pernah bilang bahwa keluarga begitu menghangatkan, dan aku berharap seperti itu. "I love you guys so much, I wish that you can read my writing which is full of love".
Cahaya terdiam sejenak, dia merasa tulisan ini sangat mirip dengan tulisan Daun. Dia kembali fokus membaca kertas tersebut.
Hallo semuanya, maaf kalau kalian membaca surat yang aku buat. Mungkin surat ku gak ada makna nya, aku yakin itu. Lagi pula... Siapa yang mau baca selain Cahaya? Itu pun kalau Cahaya nemu surat ini, hehehe...
Oke, mas Petir, gimana kabar mas selama satu tahun ini? Mungkin baik-baik saja? Alhamdulillah, mungkin udah gendong anak atau udah punya gandengan? Wahhh... Selamat! Maaf ya, Daun gak bisa datang karena masih di Jerman. Nanti Daun mampir kalau sempat, asal mas Petir mau kasih anak mas buat diajak main sama Daun.
Mas Angin, gimana kabarnya? Menyusul mas Petir pasti kan? Masa harus nunggu Daun baru gelar akad? Jangan lama-lama jomblo nya, kasihan si Cahaya, nanti ngambek karena nungguin anak kecil. Daun minta maaf juga, gak sempat datang ke sana, kalau udah pulang deh baru Daun kabarin. Makasih ya mas, masih mau balas Daun meskipun Daun banyak salah. Maafin Daun, cuma balas jasa mamas lewat negara orang.
Mas Athar... Maafin Daun, maaf kalau Daun cuma bisa bebanin mamas selama ini... Maaf kalau Daun cuma bisa kasih kekacauan di rumah. Mungkin benar? Memang sih, aku selalu bikin rumah runyam, kerja kalau sudah malam, dan pagi sampai sore hanya di rumah bikin kalian keberatan. Daun udah ada di Jerman, gak gangguin kalian lagi kok, tenang aja! Omong-omong, mas Athar kabarnya sangat baik kan? Pasti, mamas selalu baik, selalu menegur kami—mungkin aku yang selalu kena tegur, hehehe...
Mas Api, Daun udah jauh kok, mamas jadi gak usah chat Daun suruh kerja lagi. Daun bakal rajin di sini, Daun janji gak akan jadi parasit di rumah lagi. Mas juga bisa tenang tanpa Daun, bisa lega tanpa harus takut berantem sama Cahaya. Maafin Daun... Daun banyak salah sama mas Api...
Mas Air, mungkin memang benar, Daun adalah pembunuh di rumah. Daun memang gak pantas bersama kalian, karena rumah juga sudah hancur semenjak ada Daun. Jadi, kepergian Daun pasti aman tentram dan rumah kembali hidup :D.
Cahaya, hey Cahaya, jangan sedih, Daun mu sudah tenang di negara sana. Kamu tidak perlu khawatir jika aku kambuh, kamu bisa telpon aku atau bahkan setelah mengajar bisa video call dengan ku. Kamu jangan panik, aku cuma pergi sebentar aja kok, nanti balik lagi. Soalnya aku yakin, kamu pasti minta ikut, minta ke mamas-mamas buat izinin temenin aku. Kasihan sama murid-murid kamu, mereka masih butuh kamu, mereka masih bingung sama mapel yang kamu ajarin. Lagian kok susah-susah amat sih?! Kasihan si Solar sama Gentar, mereka berdua bingung itu ngerjainnya!
Dan untuk semuanya, terimakasih sudah membuka pintu untuk Daun. Terimakasih masih menyambut Daun meskipun kalian masih ada rasa benci dengan Daun. Gak papa, Daun paham, Daun cuma parasit dan pembunuh di rumah. Daun cuma orang bodoh yang gak bisa bahagiain kalian semua, tapi ada yang pengen Daun bilang, Daun sayang kalian semua. Sayanggg banget sama kaliannn!!!
Maaf ya... Daun pergi tanpa pamit, kalau pamit, kalian bakalan marah lagi. Maafin Daun :(
Semoga kita bertemu lagi? Mungkin? Hehehehe, Daun gak tau kapan bisa kembali. Daun sayang kalian banyak-banyak (≧▽≦).
Dari Orion Daun Rises
Untuk keluarga tersayang :3
"Kak... Lu janji mau pulang kan? Lu bilang di sini... Ayo pulang..." Cahaya menangis keras di ruang tamu, dia memeluk erat kertas tersebut. Mulutnya terus memanggil nama Daun, memintanya untuk pulang, memintanya untuk hadir meskipun sebentar.
Dari kamar Petir, cowok itu memeluk erat buku tulis milik Daun. Dia tidak bisa menahan tangisannya mengingat perkataan yang buruk untuk adek ke-enam nya, membuat Daun dibenci oleh dirinya dan semua saudaranya, dan hanya Cahaya bersama Angin yang terus membela Daun.
Memang betul apa kata Rimba, dia hanya monster yang membunuh perasaan Daun, Petir lah yang membuat Daun pergi selama-lamanya.
"Bang Daun aja masih nanyain lu waktu kita di kantor polisi, dia masih khawatir sama lu waktu kalian berantem. Dan hebatnya lu anggap bang Daun ngerusak gw?! Oon!"
"Daun... Maafin mamas... Tolong pulang... Tolong sekali aja datang ke mamas, tolong..."
"KALAU AJA LU MATI WAKTU ITU, YANG MASIH ADA DI SINI CUMA IBU! LU BUNUH IBU! LU BUNUH AYAH!"
"Mas... Aku minta maaf...."
"Gw goblok... Gw bikin adek sendiri sakit..." Petir memukul kepala nya, dia betul-betul menyesal, seharusnya dia bisa melindungi Daun, seharusnya... Ya, semuanya memiliki penyesalan yang selalu datang sebagai penutup perbuatan. Dan Petir akan selalu menyesali perbuatannya, mengakhiri semua yang telah dia lakukan kepada Daun.
Komentar
Posting Komentar