bandel
Halilintar berjalan menuju dapur, dia menatap ketiga bocah yang sedang berdiskusi di dapur. Iya tau, diskusi bocah somplak kek mereka tuh meragukan, antara mau masak atau mau ledakin kompor. Oke, ambil yang ke dua, ledakin kompor.
"Athu apall..." Blaze menaruh kepala nya di meja, tubuh kecil nya berguling-guling di sekitar meja lalu ditahan oleh Gempa. Bocah mata kecoklatan itu menghela napas panjang, dia menatap laci yang ada di sebelah kompor. Segera saja dia turun dari kursi lalu membuka laci tersebut, ada mie goreng, Gempa benar-benar menemukan makanan yang dia butuhkan.
"Mam emih yuk!" Taufan menekuk alis nya, dia merasa takut jika Gempa memasak. "Ntal ena omey yuyi?"
"Omey yuyi? Athu than adaa," kedua bocah itu memutar mata nya, kalau Gempa mulai sombong, rasa nya pengen di sleding. Bocah mata kecoklatan itu mulai memasak air dan mie, hanya menunggu beberapa menit dan mie milik Gempa sudah jadi. Segera saja dia memakan mie nya, mata nya menatap Blaze dan Taufan yang ngiler melihat nya.
"Ikin ndak?"
"Auu... Thapi emih apahh?" Gempa menunjuk laci tadi lalu turun dari meja makan. "Athu ajahh macak, kaliyan tunggu di cini."
"Ehh? Ndak ucahh!"
"Lah? Thamu bica macak?" Taufan tersenyum lebar, sebenarnya dia kurang tau untuk masak mie sendiri bisa atau tidak. Belajar masak saja di umur tiga belas tahun, itupun baru telor ceplok, belum kue dan cookies.
Jadi takut kebakaran...
Taufan berjalan menuju laci, dia mengambil mie dan memasukkan mie ke dalam panci. Gempa dan Blaze melotot, sebelum Gempa bersuara, Taufan sudah menyalakan kompor dan berakhir dapur bau gosong akibat ulah nya.
"WAAA!!! THEBATALANN!!!"
"AAAAA!!!! THEBATALANN!!!!"
╞═════π πΊπππππ
ππ ═════╡
Duri mengusap wajah nya berkali-kali, dia menatap ke-empat kakak nya (toddler) lalu menghela napas dalam-dalam. "Bisa sabar buat makan? Baru sampe rumah kecium bau kebakaran... Astaghfirullah..."
"Maap..." Ketiga bocah itu menunduk, mereka saling memegang ujung baju nya masing-masing. Gempa hanya terdiam, menatap Duri dengan tatapan yang seakan menantang. Dia membuka mulut nya untuk membela diri.
"Thapi tan cuma mam emih?"
"Meskipun makan mie, kabarin atau tunggu. Aku kan bisa masakin buat kalian, kakk."
"Yan ayin juda thelapelan, Yuyi. Thamu au boyak-bayik the lumah cakit thalena ita ena acan ambuh?" Jujur saja, Gempa merasa benci jika harus cadel seperti ini. Dia lebih suka ngobrol langsung, ramuan sialan, dia ingin cepat-cepat kembali ke wujud semula nya.
Duri menatap tajam Gempa, dia menegakkan tubuh nya. Mata hijau gelap nya menajam, dia mengeluarkan ikat pinggang milik Taufan lalu tersenyum miring ke arah Gempa. "Kakak berani jawab? Iya? Sekarang aku yang ngurusin kalian, bukan kalian yang ngurusin aku sama Solar."
"Belani, than thamu tanya, athu jawab lahh." Emosi Duri bercampur, marah, lelah, bingung menjadi satu, tangan kanan nya mengayunkan sabuk nya lalu menunjuk ke arah kakak ke tiga nya. "Kakak tinggal nurut apa susah nya?! Aku tau kakak pengen makan, aku tau kalian kelaperan. Coba mohon sabar gitu, aku udah beliin makan buat kalian! Tapi malah hampir bikin rumah kebakaran, sekalian aja hangusin aja rumah."
Gempa dan yang lainnya terkejut, ketiga nya ketakutan, sedangkan Gempa hanya terdiam. Duri berdiri lalu masuk ke dalam kamar dan membanting pintu. Solar terkejut, dia menatap ke-empat kakak nya lalu memeluk erat ke-empat nya. "Maafin Duri, dia udah agak capek sama kita semua. Gw minta maaf juga, gak bisa ngeredain amarah nya."
"Maapin ita... Ita ikin ancul dapul..." Solar menghela napas panjang, dia mengusap rambut Halilintar dan Taufan, mata nya membentuk bulan sabit seperti tersenyum ke arah Blaze yang masih menangis di pangkuan nya. Hanya Gempa yang terdiam, dia hanya menatap Solar lalu izin menuju kamar.
Solar menatap kepergian Gempa, cowok mata silver itu merasa tidak enak dengan kedua saudara nya. Mungkin dia bisa membantu memperbaiki hubungan mereka, semoga saja...
╞═════π πΊπππππ
ππ ═════╡
Gempa membereskan baju nya ke dalam ransel, dia menarik napas lalu dihembuskan secara perlahan. Mata bulat nya menatap jendela lalu memakai jaket nya, segera saja bocah itu melompat dari jendela kamar. Beruntung tidak di kamar atas, kalau betulan, paling pentol patah tulang.
Paling parah? Masuk IGD terus ketemu si jamet klepon.
Brukk
"Ashh... Atit..." Gempa mengusap pantat nya, dia melirik jendela kamar. Terdengar suara langkah kaki dari dalam sana membuat si bocah mata kecoklatan itu segera kabur dari rumah. Kaki kecil nya berlari sekuat tenaga, dia tidak ingin bertemu dengan Duri. Tidak akan!
Di sisi lain, Solar yang ingin mengajak Gempa untuk makan hanya terdiam di ambang pintu kamar sang kakak. Dia memijat kening nya, jendela kamar terbuka lebar pertanda bahwa si mini bokem itu sudah pergi menjauh dari rumah.
"La ilaha ilallah... Kak Gem... Abdksnksnsksisk."
✩.・*:。≻───── ⋆π΅ππππππππ⋆ ─────.•*:。✩
Sori menghela napas sejenak, dia menggaruk kepalanya lalu menatap seisi dapur. Tidak ada makanan? Tumben, biasanya si biru bernama Acil itu akan memasak makanan.
"Yaelah, mau gak mau keluar rumah ini mah." Cowok mata mint itu segera ke kamar, dia mengambil jaket, dompet, serta kunci motor nya. Segera saja Sori pergi dari rumah dengan motor beat kesayangan nya.
Sepanjang perjalanan, mata nya terus menyelusuri ruko-ruko yang berisi makanan. Tidak ada yang membuatnya menarik, helaan napas keluar dari mulut nya lalu tangan kanan nya menancap gas pergi menuju taman. Biasanya malam begini ramai sih, ramai orang pacaran dan jajanan. Dan yang diincar Sori mah jajanan nya, kalau pacar, emang nya si Supra mau dilangkahi?
"Akhirnya sampai juga... Siap mencari makanan yang enak," motor beat itu diparkiran, dia turun dari motor lalu berjalan mengelilingi taman. Dari yang beli gulali, lalu membeli takoyaki, dan paling utama pasti nya beli es durian kocok. Pecinta durian tidak boleh meninggalkan satupun kesukaan nya.
Sori celingak-celinguk mencari tempat duduk, dia menyipitkan mata melihat bocah yang sangat familiar. Tidak mungkin bocah itu mengenali nya, lebih baik dia duduk di tempat lain sebelum dikira anak PAUD juga sama orang-orang.
"Tinggal, enggak, tinggal, enggak... Ditinggal, kek tega banget. Tapi kalau disamperin, nanti dikira bocil juga..." Kaki nya melangkah menghampiri bocah itu, dia duduk di sebelah nya. Bocah itu terkejut, dia menoleh ke arah Sori lalu mereka berdua terdiam sejenak.
"Loh? Icak?"
"GEMPA?! LU NGAPAIN—HHMMMPKHHHH!" Tangan mungil Gempa membekap mulut Sori, dia menatap orang-orang yang menatap mereka dengan tatapan yang aneh lalu kembali berlalu-lalang meninggalkan kegaduhan antara mereka berdua. Gempa melepaskan bekapan nya, dia menghela napas panjang membuat Sori kebingungan.
"Lu ngapain di sini? Terus juga, kenapa bisa sekbid gw jadi mungil begini?!"
"Adi kecik cama Coyal, lamuan na umpah di antai teyus adi kecik." Sori masih terdiam, dia menatap Gempa dari atas ke bawah lalu teringat tentang Halilintar yang pernah menjadi kecil juga akibat si bensin truk itu. "Ini... Lu doang? Gak yang lain, kan?"
Gempa hanya membalas dengan senyuman, Sori sudah menduga nya, trio sulung Suwanda menjadi kecil. Kedua tangan Sori menaruh di kepala, dia mengacak-acak rambut nya lalu berteriak kecil melihat teman nya itu. Berharap ramuan si Solar hanya berjalan selama seminggu.
Masalahnya bukan di bagian kelas, tetapi di bagian kelembagaan. Jangan lupakan jika Gempa yang menawarkan diri mengikuti LKTF yang berujung ke-lima tongkrongan nya ikut. Ya kali yang ikut cuma Supra, Sori, sama Beliung, ha he ho bertiga.
"Cuma bertiga aja kan jadi kecil nya? Ntuh dua panitia kagak ikut jadi kecil?"
"Ikut..." Udah lah, mati ini mah ditanya nanti.
✩.・*:。≻───── ⋆π΅ππππππππ⋆ ─────.•*:。✩
Kedua orang itu akhirnya sampai di rumah Ngalengka, berhubung Sori sangat baik hati—lebih tepat memaksa—mengizinkan Gempa untuk menginap di rumah nya. Sebenarnya Gempa sendiri sudah bersiap mem booking hotel, dan dengan ngawur nya dia bilang 'agi mayahan cama Yuyi, makana abul.'
Sori langsung menjewer bocah itu dan menggendong nya menaiki motor, Gempa udah protes duluan, tapi disogok sama sosis bakar juga diam. Sebelas dua belas seperti Sori.
"Sana masuk, kalau ditanya sama mas Frost, jujur aja. Jangan diam kek lagi di evaluasi." Gempa turun dari motor, dia menendang kaki Sori lalu berlari masuk ke dalam rumah teman nya. Sori meringis kesakitan, dia memarkirkan motor nya di bagasi rumah lalu masuk ke dalam rumah.
Baru saja dia menginjakkan kaki di ruang tengah, suara Gempa begitu menggelegar membuat kedua sulung Ngalengka menghampiri bocah itu. Frostfire mengerutkan kening nya, sedangkan Glacier memainkan pipi si bocah sampai anak itu berteriak meminta dilepaskan.
"YEPASS!!! AAAA!!!"
"Aduduh, gemesin banget sih, lu pungut darimana, Cak?" Sori memutar mata nya, dia menunjuk jajanan yang dibeli nya tadi. "Dari taman, nih anak kabur dari rumah. Mana jadi mini begini..."
"Sebentar... Mini?" Frostfire menegang pipi Gempa, dia menatap mata coklat itu lalu menghela napas panjang. "Ini ulah Solar?" Bocah mata kecoklatan itu mengangguk, dia memakan sosis bakar nya dengan lahap, membiarkan ketiga cowok itu kebingungan. Frostfire menyenggol lengan Sori, dia meminta kejelasan tentang Gempa.
Sori menghela napas panjang, dia mengangguk lalu menceritakan semuanya. Frostfire dan Glacier menyimak, mereka berdua mengangguk lalu kembali menatap Gempa yang mulai linglung akibat ngantuk. Cowok mata biru merah itu terkekeh pelan, dia mengambil tissue wajah dan mengelap bibir Gempa yang dipenuhi oleh saos.
"Tidur sama kak Wicak dulu, besok kita jalan-jalan."
"Hhhhh? Ndakk, au di cini..."
"Jangan dong, nanti kamu sakit." Gempa menggeleng pelan, dia tertidur di sofa ruang tengah. Kedua sulung Ngalengka itu tertawa, mereka menatap Sori yang lagi-lagi menghela napas panjang lalu menggendong Gempa menuju kamar. Sebelum ke kamar, mata nya memincing mengarah ke-dua saudara nya, bersiap membantah jika diejek.
"Waduh, pak Wicak, udah gendong anak aja."
"Pak Wicak, istri nya mana? Kok ke sini sama anak nya aja sih?"
"BACOT DUDA LAPUK, MENDING KALIAN BERDUA MASAK LAGI SANA!"
Komentar
Posting Komentar