hari sial
Sori menguap lebar, dia membawa kresek berisi makanan dari bawah. Cowok mata mint itu masuk ke dalam kamar, terlihat seisi kamar masih tertidur lelap. Padahal materi di hari kedua ini mulai di jam sembilan, dasar nya aja mereka yang remaja jompo baru tidur lagi habis subuh.
"Woi bangun, udah jam delapan lebih." Supra menggaruk pantat nya, dia memutarkan badan nya ke arah kanan lalu memeluk erat tubuh mungil Gempa. Sori menghela napas panjang, dia menepuk-nepuk kembali pundak Supra dan Beliung, sayangnya kedua cowok itu sangat susah dibangunin.
"Bangun! Lu berdua mau makan kagak?"
"Hhh... Ntar aja... Gw masih ngedit..."
"Ngedit apaan lu, angin gede? Ngedit mimpi?" Sori mengambil botol minum nya lalu menyipratkan air ke wajah Supra dan Beliung, mereka berdua terbangun lalu duduk di karpet. Mereka terdiam sejenak mengumpulkan nyawa, Supra memeluk erat tubuh mungil Gempa yang dia jadikan guling. Untung saja bocah itu tidak bangun, kalau bangun pasti rewel nya melebihi Halilintar yang ceng-cengin dia sama si Eshvina itu.
"ANAK GW KENAPA LU PELUK?!"
"Ssuuttt, mana nasi cokot gw? Laper nih ketua." Sori berdecih, dia memberikan sarapan milik Supra lalu menggendong Gempa untuk ditaroh di kasur. Dia kembali menghampiri kedua cowok itu lalu duduk di depan mereka sambil membuka bungkus sarapan, ketiga nya mulai tenang dengan sarapan mereka. Tidak ada yang membuka percakapan, sampai akhirnya Beliung sendiri yang membuka percakapan.
"Lu dapat apa semalam, Sup?" Supra menatap Beliung, dia menggelengkan kepala nya lalu kembali memakan nasi nya. Beliung menaikan alis nya, dia merasa curiga dengan teman jamet beda prodi nya itu.
"Apa iya? Kenapa pas kita diskusi semalam, lu kek lengket amat sama si anak PAUD?" Sekarang Sori yang terbatuk, dia tidak percaya dengan ucapan Beliung. Mata nya memincing, meminta kejelasan dari kembaran nya. Supra menelan ludah sendiri, dia mencubit paha Beliung lalu menatap kembaran nya dengan tatapan memohon.
"Enggak, gw dekat sama dia karena asik aja. Anak nya humble kok, masa kita musuhan sama cewek?"
"Itu tupoksi dari kemahasiswaan atau tupoksi dari perjametan lu?"
"Tupoksi apaan, cuk? Gw deket karena dia enak aja diajak ngobrol." Sori dan Beliung tersenyum miring, mereka berdua saling menyenggol lengan membuat Supra jengah. Cowok mata merah keemasan itu meremas kertas nasi lalu membuang nya ke tong sampah, dia pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan berganti pakaian.
"Mandi sekalian, Cahya!"
"Siang aja! Gw mager mandi sekarang!" Sori memutar matanya, dia membangunkan bocah-bocah supaya pada makan. Setelah membangunkan mereka bertiga, Sori memberikan makanannya ke trio sulung Suwanda. Halilintar yang sudah sadar duluan langsung memakan nasi cokot nya, berbeda dengan Taufan dan Gempa yang masih sayup-sayup setengah sadar.
Halilintar mengucek mata nya, namun tangan mungil nya diturunkan dari wajah nya oleh Supra yang baru saja selesai berganti baju. Cowok mata merah keemasan itu menyentil pelan jidat Halilintar, membuat si empu menggeram marah sambil memakan nasi nya.
"Diyam!"
"Telen dulu makanannya, jangan ngomong sama gw kalau mulut lu penuh." Bocah mata merah gelap itu memukul lengan teman nya, Supra merasa sedikit sakit karena pukulan Halilintar memang lebih menyakitkan jika menjadi bocil. Lebih baik segera menjadi dewasa lagi, bagus banget kalau Halilintar cuma ngomel sambil ngurusin surat-surat.
Halilintar mendumel pelan sambil memakan nasi nya, dia menggembungkan pipi nya membuat Sori merasa gemes sendiri. Beda sama Gempa yang makan aja berceceran, jangan harap Sori urus anak itu.
"Lucu banget sih, jadi anak kecil terus ya, Lin."
"Emoh!! Au na cepet ede biyal athu ica yombanin Cupla cama Pina."
"WOI?! GAK GIT—."
Krekk
"Supra, Sori, Liung, ayo turun— ini anak siapa yang lu bawa, bocah?" Ah mampus, ketauan sama bang Louis.
•❅──────✧❅𝑺 𝒖 𝑵❅✧──────❅•
Sekarang mereka berenam ada di aula, Sori sudah menduga jika semua mata tertuju pada mereka berenam. Sori meringis menahan takut, dia tidak bisa menjawab jika pertanyaan yang semuanya sangat tidak jelas.
"Sebentar... Ini kenapa bisa kalian jadi kecil?" Yang memulai bertanya Gub Arden, dia menatap heran ketiga anak himpunan nya menjadi kecil. Halilintar berdiri depan Supra, Gempa juga berdiri didepan Sori. Hanya Taufan yang berbeda, bocah itu bersembunyi di belakang Beliung.
Mau heran sama Taufan, tapi dia anaknya imut.
"Jadi gini... Mereka bertiga tambah dua adek nya yang kembar jadi panitia itu kena ramuan dari adek nya."
"Adek nya lulusan kimia? Keren amat?"
"Bukan kak... Adek nya baru lulus SMA." Kini seisi ruangan terdiam, mereka tak percaya dengan ucapan Sori. Untuk Gamma alias Louis, dia sudah paham kenapa bisa mereka menjadi kecil. Jujur, kimia memang seru, sayang sekali dia masuk matematika. Tapi untuk bermain ramuan, seharusnya adek nya si trio sulung Suwanda tau kan dimana tempat untuk bermain?
"Gw kira kek elu, Sup. Soalnya kan lu tukang kibul."
"Ngawur, gini-gini gw mah jujur." Sori dan Beliung memasang wajah jijik, mereka berdua menatap semua orang lalu menghela napas panjang. "Kita minta maaf karena gak jujur, disini kita salah karena tau seharusnya mereka tidak usah ikut. Kita terima hukuman dari kakak-kakak BEM, IKM dan teman-teman semua."
Ucapan dari Sori membuat semua terdiam, mereka hanya menghela napas lalu Gamma berdiri dan menjitak kepala cowok mata mint itu. Sori terkejut, dia meringis kesakitan, tangan kanan nya mengusap kepala nya sedangkan mata nya menyipit menatap Gamma.
"Hukuman pasti ada, tapi emangnya lu mau nih bocah cadel presentasi depan kita?"
"Hah? Plencetaci?" Cowok rambut silver itu mengusap wajah nya, dia berjongkok lalu menatap Gempa. "Iya dong, ya kali lu suruh jaga depan. Enak bener."
"Ciapa tawuu thamu aci Icak buwat plencetaci, Ayiyintal paci setujuhh." Halilintar terdiam, dia menggelengkan kepala pertanda tidak sepakat dengan ucapan Gempa. Taufan apalagi, dia hanya memperlihatkan senyum tertekan nya akibat ucapan Gempa. Siapa yang setuju jika ketiga orang itu presentasi karena ulah mereka bertiga sendiri? Jangan deh, makin aneh nanti.
"Gimana kalau kalian bertiga nyimakin materi tapi di belakang sama gw dan BEM IKM? Biar kalian gak aneh-aneh sama kabid sekbid kalian."
"Bentar-bentar... Jadi tempat duduk kita pisah?" Gamma menatap Sori, dia menggelengkan kepala lalu menunjuk ke arah ketiga bocah itu. "Bukan kalian, tapi mereka. Dan gw harap, mereka bertiga gak akan bikin ulah. Ini hari ke-dua, gw mau semuanya perhatiin materi, bukan cuma ngobrol gak jelas."
Ucapan dari kepala departemen Menkominfo BEM membuat ketiga cowok dan ketiga bocah itu merinding, mereka mengangguk lalu duduk di tempat seharusnya. Seperti biasa, barisan belakang cowok terisi Supra di kiri, Sori di tengah dan Beliung di kanan. Tumpang tindih sekali tinggi mereka.
Semuanya hening sampai akhirnya pemateri masuk, Supra menatap Eshvina, cewek itu menatap Halilintar yang duduk di lantai sambil mencoret-coret buku. Cowok mata merah keemasan itu menggelengkan kepala, cewek itu seperti ibu bagi Halilintar. Lucu sekali—eh?
"Fokus, ini sejarah tentang mahasiswa." Sori menyenggol lengan Supra, menatap cowok itu dengan sengit. Supra hanya mengangguk sambil menepuk pelan kepala kembaran nya. Baiklah, mari kita fokus dengan materi yang kelima.
•❅──────✧❅𝑺 𝒖 𝑵❅✧──────❅•
Solar mengusap wajah nya, dia menahan ngantuk nya lalu kembali fokus dengan ramuan penawar nya. Pintu laboratorium terketuk, Solar berteriak menyuruh orang itu masuk. Terlihat Duri yang membawa makanan untuk Solar, cowok mata hijau gelap itu menyuruh Solar untuk duduk. Sedangkan Solar sendiri menggelengkan kepala, dia masih membuka dokumen sambil mencocokkan ramuan penawar.
Solar meneteskan ramuan itu ke tanaman milik Duri yang menjadi bibit, tiba-tiba saja asap mulai keluar dari bibit tersebut. Sayangnya hanya beberapa detik, tidak ada reaksi yang menandakan bahwa bibit tersebut numbuh. Solar mengacak-acak rambut nya, dia sudah tidak kuat dengan semua ramuan yang gagal.
"Lar, sini dulu."
"Gak mau... Nanti lu ngomelin gw..." Duri terkekeh kecil, dia menarik tubuh Solar lalu memeluk erat kembaran nya. Tangan nya mengelus rambut coklat Solar, membiarkan kembaran nya beristirahat. Solar memeluk erat tubuh Duri, dia menangis di pundak kembaran nya. Mulut nya terus mengucapkan permintaan maaf atas kesalahan nya, kalau saja dia tidak berbuat aneh-aneh, mungkin kakak-kakak nya masih seperti biasa.
"Maafin aku, kamu jadi nekan otak mu buat bikin ramuan. Sekarang istirahat dulu, ok? Badan kamu udah hangat, Lar." Solar menggelengkan kepala, dia tidak ingin istirahat. Namun paksaan dari Duri membuat cowok mata silver itu menuruti perintah Duri. Cowok mata hijau gelap itu menyuapi Solar, dia mengelus rambut lepek Solar supaya anak itu tenang.
"Ayo satu sendok lagi, udah suapan terakhir loh." Solar menggelengkan kepala, dia menatap Duri yang membuat cowok mata hijau gelap itu menghela napas panjang. Dia menapah Solar menuju kamar, setelah sampai di kamar Solar, Duri membuka pintu kamar kembaran nya lalu berjalan bersama Solar dan merebahkan tubuh kembaran nya di kasur.
Solar memegang pergelangan tangan Duri, dia menatap kembaran nya seakan meminta ditemenin tidur. Duri terkekeh kecil, dia menganggukkan kepala nya. Tubuh Duri terlentang di sebelah Solar, membiarkan cowok mata silver itu memeluk tubuh nya.
Solar mendusel leher Duri, dia tertidur lelap meninggalkan Duri yang masih tidak bisa tidur. Cowok mata hijau gelap itu menatap langit kamar, pikiran nya mulai berkecamuk. Apakah kakak-kakak nya ketauan? Kalaupun ketauan, Supra dan yang lainnya bisa mengatasi semua masalah nya?
Duri menggelengkan kepala nya, dia memejamkan mata nya. Membiarkan sinar bulan menyinari jendela kamar Solar, membiarkan sinar bulan mengenai wajah nya. Duri ingin menenangkan pikiran dan hati nya, takut jika kemungkinan dari segala kemungkinan buruk itu tepat sasaran.
•❅──────✧❅𝑺 𝒖 𝑵❅✧──────❅•
Supra tidur di belakang barisan cewek, dia bersama Halilintar tidur di karpet masjid membuat para cewek cekikikan. Anak cewek yang PTI kan kelakuan nya ngajak ribut ya, alhasil mereka foto terus kirim ke grup Himpunan sendiri. Ingat kata Supra, konco ghatel.
"Bapak anak banget, njir."
"Jangan gitu pe'ang, nanti bangun tuh anak bapak."
"Nah, mak nya siapa? Masa Lyann lagi?" Lyann mengepalkan tangan nya, dia mencubit teman sekaligus sekbid nya. Mata nya melirik sinis, sayangnya bagi keempat teman nya hanya dianggap candaan. Tau kok, dia lebih milih cowok yang cakep diluar sana. Kalau sama Supra, tahan-tahan buat gak bolak-balik gebuk muka nya Supra.
"Mungkin anak prodi lain demen sama dia, kan dia terkenal."
"Terkenal jamet nya?" Ini bukan Lyann yang jawab, tetapi Eshvina. Cewek rambut merah kecoklatan itu menyelipkan poni nya di belakang telinga. Dia menatap heran kelima teman cewek nya Supra, seperti dendam kesumat banget. Lyann terkekeh kecil, dia menggelengkan kepala, jari telunjuk nya menunjuk ke arah Supra lalu menunjuk ke arah Eshvina dengan balasan senyuman penuh menyebalkan.
"Lu naksir ya... Cieee..."
"Gila aja, gw gak naksir dia. Masih sadar yang ganteng banyak, kalau sama Supra, stress hidup gw."
"Yakin?" Eshvina terkejut, dia hampir saja jatoh dari kursi nya kalau saja Supra tidak menahan tubuh cewek itu. Cewek rambut merah kecoklatan itu menatap sengit cowok itu, dia berdecih lalu kembali fokus ke papan tulis yang kosong sambil mencoret-coret buku.
Supra? Dia tau jika cewek itu salting, tapi males aja ganggu, nanti malah di lempar pake kursi. Kan gak baik untuk cogan satu ini.
"Natap mulu, suka lu sama dia, Supri?" Supra berdecak sebel, dia menjitak kepala Lyann lalu membangunkan Halilintar supaya persiapan materi selanjutnya. Sekarang sudah jam satu malam, tetapi katanya ada materi lagi. Yasudah, Supra tidur sebentar di belakang.
Tapi karena diganggu sama makhluk halus—teman-teman setan— alhasil tidur nya tidak nyenyak, dia tau juga kalau foto nya dikirim ke grup. Telek samua, mau gebuk tapi gak baik sebagai cowok seperti itu.
Baru saja Supra ingin membalas ucapan Lyann, tiba-tiba saja seseorang masuk ke dalam aula membuat seisi ruangan begitu tegang. Bahkan Gempa yang cerewet pun terdiam, dia meremat ujung celana Sori membuat cowok mata mint itu kebingungan. Belum juga Sori membuka mulut, suara dari orang itu membuat mereka yang di sana langsung berbaris.
"Semuanya baris di depan, gak ada yang main sama anak kecil kek mereka. Sekarang!" Para peserta segera membuat barisan, dua barisan cowok dan dua barisan cewek. Setelah berbaris, orang itu menatap mereka semua lalu menarik salah satu bangku dan duduk di depan mereka.
"Yang cowok, push up! Yang cewek squat jump! Gw gak mau lu semua nunggu perintah gw." Supra menghela napas panjang, dia memposisikan diri nya untuk push up, dia menatap Halilintar yang ikutan di tempat dimana mereka berdua tidur. Ingin rasa nya Supra terkekeh kecil namun harus dia tahan, cowok mata merah keemasan itu push up bersama peserta lain selama sepuluh kali. Setelahnya, mereka semua duduk di tempat lain.
Sori duduk di sebelah Ara, Supra di sebelah Eshvina dan Beliung di ujung mendekati bangku pemateri yang saat ini. Beliung menghela napas panjang, memang hari soal tidak ada di kalender, kenapa harus sebelah Tum Sultan sih? Udah tau dia kagak berani dekat sama orang itu, selain seram, menurut Beliung, orang nya menakutkan.
"Yang bocah bertiga, maju terus lu bertiga duduk di sebelah gw." Sori bengong, dia menatap pemateri lalu menatap ketiga bocah itu. Halilintar langsung maju, Gempa dan Taufan masih takut. Halilintar berbalik badan dan menghampiri kedua kembaran nya, dia menggeret mereka ke depan lalu duduk di sebelah Tum Sultan.
"Nurut juga lu, siapa nama lu?"
"Ayintal?"
"Hah? Gw kagak paham bahasa bayi." Halilintar memutar mata nya, dia menulis nama nya di kertas lalu memberikan kepada pemateri. Halilintar di tengah, Gempa sebelah kanan dan Taufan sebelah kiri. Tum Sultan mengangguk, dia menyuruh ketiga bocah itu tetap duduk di sebelah nya.
"Materi tadi apa?"
"Hah?"
"Nape malah ha he ho, Tum Boi? Materi tadi apa?" BoBoiBoy terdiam, dia memikirkan sejenak lalu menjawab dengan cepat. "Lembaga legislatif."
"Bagus, San, apa inti dari materi tadi sebelum gw?" Supra terdiam, dia mengetuk jari nya sedangkan Tum Sultan menghitung angka satu sampai lima dengan cepat. Supra tidak bisa menjawab karena dia juga kurang mendasari kelembagaan bagian legislatif. Pemateri itu terdiam, dia berdecak sebel dan tangan kanan nya yang memegang spidol menunjuk ke arah Beliung.
"Tadi inti materi nya apa, Artareja?"
"IKM sebagai lembaga legislatif dari fakultas dan kampus, yang membuat undang-undang dan mengesahkan undang-undang. Itu yang gw ingat dikit, Tum. Sisa di buku."
Tum Sultan berdiri, dia memukul papan tulis membuat semuanya syok. Dia menunjuk ke arah semua peserta lalu terdiam menatap mereka semua. "Tadi gw denger dari pemateri lain, lu pada kenapa gak nanya? Kenapa gak aktif buat berdiskusi?"
Tidak ada yang menjawab, mereka hanya terdiam merenungkan kesalahan masing-masing. Tum Sultan menghela napas panjang, dia memukul papan tulis dengan menggunakan penghapus supaya suara nya menggelegar. "Jawab! Kenapa kalian gak diskusi?!"
"Tum... Maaf, izin masuk." Sori mengangkat tangan nya, dia meneguk ludah nya susah payah lalu menatap seisi ruangan. "Silahkan Cak, lu mau ngomong apa?"
"Kenapa kita gak bertanya pas materi dijelaskan atau diskusi? Kalau menurut Sori, banyak dari kita yang takut... Iya saya sendiri juga masih takut buat bertanya, tapi kita harus bisa bersuara."
"Untuk teman-teman yang masih takut bersuara, bisa dibilang itu mereka betulan punya pertanyaan tapi pertanyaan mereka kayak dianggap sepele atau sebenarnya sudah ditanyakan ke teman-teman yang lain. Contoh nya gini Tum, Cahya kan sering tanya dan dia selalu aktif lah diantara kita semua. Saya yang sebagai kembaran nya merasa takjub, seharusnya ini bisa jadi dorongan kita untuk berdiskusi apalagi mengenai kelembagaan yang 'kosong'."
"Nah, terus kenapa lu pada gak bersuara? Takut? Takut apanya? Pertanyaan lu yang mungkin gak berguna bisa aja itu berguna. Aktif, kita ini keluarga, kelembagaan juga rame karena kalian semua." Tum Sultan duduk di kursi nya, dia menunjuk ke arah Beliung. Mata nya menatap mata cowok rambut biru dongker itu dengan tatapan penasaran.
"Sekarang gw tanya paling simpel buat kalian semua, dimulai dari Arta, lu baca buku apa selain novel?"
"Tan Malaka? Tapi baru seperempat halaman."
"Sebelahnya!" Sori melongo, otak nya blank seketika saat membahas buku bacaan. Jujur saja, Sori sudah jarang sekali membaca buku kecuali Supra yang ngasih buku bacaan nya ke dia. Itupun ngasih nya pake cara abang ke adek, geplak kepala, ceramah, baru ngasih buku. Dan buku nya tak jauh dari dakwah, masyaallah Supra.
"Sebelahnya!"
"Ane, tum?" Pertanyaan Supra terkesan membingungkan, untung saja pemateri nya hanya menganggukkan kepala, tidak melempar spidol ke wajah nya Supra. "Ane baca buku Hadist sama Berpikir Kritis dengan Bahasa Indonesia."
"Udah berapa halaman yang Berpikir Kritis nya, Sup?"
"Dikit lagi sih, ane lupa udah sampe mana baca nya." Tum Sultan mengangguk, dia menunjuk ke arah yang lain sampai girilan Sori. Cowok mata mint itu menghela napas panjang, dia hanya bilang jika yang dia baca baru buku Filsafat Ilmu dan Dasar Logika. Buku milik Supra, jangan heran jika anak itu berpikir logis meskipun kek monyet lepas kandang.
Tum Sultan membahas mengenai kelembagaan yang sangat sepi, dia tidak hanya menyindir para peserta yang notabene nya HMPS dan LSO, tetapi juga BEM dan IKM. Dia terus bertanya mengapa bisa kelembagaan sepi, apa yang membuat kelembagaan sepi dan bagaimana cara untuk meramaikan kelembagaan lagi.
Mungkin menurut sebagian orang, lembaga organisasi tidak penting, namun bagi Sori, tidak mungkin jiwa teater nya muncul jika tidak mengikuti organisasi. Jujur saja, meskipun menjadi ketua bidang Organisasi harus bisa mengatur anak-anak dan juga trisula nya, ada rasa sakit kalau lembaga sendiri saja tidak ramai apalagi dari diri nya sendiri yang tidak bisa meramaikan dan menghidupkan kelembagaan fakultas.
Egosentris, apatis, acuh tak acuh, tertutup, semua permasalahan ada dalam tanah nya saat ini. Yang meramaikan hanya itu-itu saja, termasuk mereka berenam jika tiga bocah itu masih di wujud semula nya. Ditambah pula, mahasiswa saat ini sangat sedikit, entah dalam pikiran apa untuk promosi kampus saja yang masuk hanya segelintir dari banyak nya angkatan Sori saat ini.
MABA PTI, kata Supra hanya separuh dari angkatan mereka dan yang ikut organisasi ada delapan. PBSI, masih ada beruntung nya sedikit meskipun yang masuk juga tidak sebanyak angkatan nya. Untuk POR, selalu ramai, tidak heran jika banyak yang masuk POR. Tapi bagi prodi lain seperti Geografi, PAUD, PG SD, Kimia, Matematika, sangat jomplang dari tahun-tahun sebelumnya.
Jujur saja, pembahasan ini memang mengerikan, Sori tidak tau harus berkata apalagi mengenai mahasiswa di FKIP. Semoga saja, angkatan baru nanti lebih ramai dari angkatan semester dua saat ini. Itu harapan dari semua angkatan.
Mengenai pembahasan egosentris, Tum Sultan hanya meminta semua nya untuk tidak seperti egois yang terlalu tinggi. Hanya karena tidak ingin berada di lembaga, tidak muncul, bahkan diajak untuk kumpul saja sangat susah. Dia hanya berharap, forum diskusi saja tanpa melibatkan organisasi. Setelah itu masuk pemateri lain yakni Gubernur BEM tahun lalu, dia hanya menyimpulkan apa yang dibilang Tum Sultan lalu membahas sedikit mengenai kelembagaan juga.
Setelah itu mereka semua kembali ke kamar masing-masing, masih beruntung tiga bocah itu sudah tidur di kaki Tum Sultan. Sori, Supra dan Beliung menggendong mereka bertiga lalu meminta maaf sekaligus berterima kasih atas diskusi malam ini.
Sori berjalan memimpin di depan, dia berhenti di depan kamar lalu membukanya pintu nya perlahan. Udara AC begitu dingin, segera saja Sori, Supra dan Beliung merebahkan ketiga sulung Suwanda itu. Beliung menutup pintu kamar dan rebahan di karpet, mata nya terpejam karena ngantuk nya yang sudah tidak bisa tertahankan lagi.
Sori menatap Supra yang baru saja selesai ganti baju. Cowok mata merah keemasan itu menatap kembaran nya, dia menekuk alis nya merasa bingung dengan raut wajah Sori yang begitu tegang. Kayaknya efek ngantuk, biasanya juga kalau ngantuk ya si Sori tegang.
"Kenapa? Kok khawatir gitu?"
"Enggak, gw gak papa. Kepikiran sama Gempa aja..." Supra menaikan alis nya, dia menghampiri Sori lalu menepuk pelan kepala kembaran nya sambil tersenyum manis. "Kita tau, kekhawatiran kita ke mereka itu pas ujian sekarang ini. Gw tau ku khawatir sama Gempa, gw sendiri juga khawatir sama Halilintar. Kita gak tau kapan Solat beres sama ramuan nya, bisa jadi sekarang ramuan nya udah jadi tapi pas di coba masih belum sempurna."
"Sekarang tidur, nanti pagi kita bangun buat diskusi sama presentasi kan? Tidur ya adek gw paling mungil." Sori terkekeh pelan, dia mengangguk lalu tidur di pinggir dekat kasur bocah-bocah. Supra menghela napas panjang, dia rebahan di tengah. Mata nya terus menatap ke arah langit kamar, tangan kanan nya mengelus rambut Sori lalu ikut tertidur.
Sementara di rumah Suwanda, bibit tanaman milik Duri tiba-tiba saja mulai tumbuh. Bibit itu mengeluarkan daun kecil beserta sepucuk bunga mungil yang masih tertutup rapat.
Komentar
Posting Komentar