petak umpet

Duri menatap ketiga kakak nya, mereka sudah bersiap-siap untuk LKTF besok. Agak membingungkan untuk misi penyelundupan ini, jujur saja... Duri saja bingung mau cerita bagaimana ke orang-orang nantinya, masa harus bohong kalau mereka bertiga jadi kecil karena di kutuk sama Solar? Ngawur.

"Apah ajah becok?" Halilintar membuka HP nya, dia melihat pakaian peserta lalu memberikan ke Taufan. "Emeja na ebas, dua hali, teyus telakhil pake atik."

"Emang kemeja kalian ada? Bukan nya cuma kaos ya?" Halilintar, Taufan, dan Gempa menunjukkan kemeja kecil berukuran pas di tubuh ketiga nya saat ini. Duri melongo lalu menggelengkan kepala nya, tangan kanan nya memijat kening, helaan napas keluar lalu menatap temperduo yang teriak karena almamater Univ menjadi kebesaran di tubuh mungil mereka berlima.

"EDE!!! INIHH GIMANA?!"

"YA TAHMU PAKE LAH?! YIBET AMATT!"

"EDE?!"

"Ehh, udah udah, jangan ribut. Kalian kalau ribut, nanti gak jadi ikut LKTF." Kelima bocah itu terdiam, mereka saling berbaris lalu menatap cowok mata hijau gelap itu dengan prihatin, mau kasihan tetapi Duri juga kadang kek orang gila. Jadi, yang mana perlu dikasihani? 

"Bobok yuk? Tapi athu au tidul cama Yuyi." Cowok mata hijau gelap itu terdiam, dia menatap Taufan yang tersenyum manis sambil memeluk kaki kiri nya. Gempa juga tak tinggal diam, dia memeluk kaki kanan Duri sambil membuang muka. Blaze, Ice, dan Halilintar menatap Duri dengan tatapan memohon.

Duri terkekeh kecil, dia mengangguk lalu menyuruh kelima kakak nya untuk tidur berjejeran. Di tengah kasur dibiarkan kosong oleh bocah-bocah, kata Halilintar sih untuk Duri. Iyain dah, nurut aja kemauan anak-anak.

"Jangan Lupa do'a dulu sebelum tidur, biar gak di ganggu setan."

"Cetan na ciapa?"

"THAMU!!! THAMU—HMMMPHHH!!"

"Kak Ceu, gak boleh teriak-teriak. Udah malam, ayo tidur." Ice memelet ke Blaze, dia memeluk lengan kanan Duri lalu tertidur lelap. Begitu juga dengan Taufan yang memeluk Duri di lengan kiri, mereka berlima sudah tertidur pulas. Duri menghela napas panjang, dia melirik cepat ke arah pintu tanpa menoleh sedikitpun. 

"Foto aja dah, foto. Habis itu dikirim ke grup, kan?" Solar menutup mulut nya, dia menahan tawa melihat raut wajah Duri yang tertekan sekali. "Aduh bapak, istri nya kemana? Duda banget keliatan nya."

"Brengsek... Awas aja kamu..."

•❅──────✧❅𝑺 𝒖 𝑵❅✧──────❅•

Supra menguap lebar, dia menatap aula asrama yang tidak lain ialah tempat LKTF. Dekat sama kampus kok, cuma belakang FKIP, naik dikit lewat tangga FISIP, nyampe deh.

Kalau pagi hari nya agak nyentrik sih, tidak masalah Supra beraktivitas. Masalahnya dia udah di asrama jam enam pagi. Iya, jam enam pagi. Nih anak satu antara random atau dia nya aja kepengen ke kamar peserta.

Cowok mata merah keemasan itu membuka grup HIMA, dia menyipitkan mata nya ketika membaca isi grup. Mulut nya bergumam kasar, semua nya telat datang termasuk yang cewek-cewek. Padahal yang ngajak janjian ketemuan di asrama tuh yang cewek-cewek, jam lima pagi malah. Ini dia datang awal malah pada ngaret. 

Konco gathel.

"Udah fix, kagak percaya gw sama elu-elu pada! Sakit hati babang!" Supra pura-pura pingsan di lantai aula, untung saja aula tidak ramai dengan panitia, bisa-bisa image nya hancur karena kelakuan gila nya itu. Cowok mata merah keemasan itu duduk di lantai, dia menghela napas lalu HP nya berdering. Segera saja dia angkat, alis nya mengkerut mendengar suara bocah yang galak nya bukan main, sebentar... Halilintar kah ini?

"Thamu dimanaaaa????"

"Gw di aula, mang napa? Lu mau malakin gw?" Dari ujung sana, bocah itu tertawa terbahak-bahak sebelum diambil ahli oleh Duri. Supra menebak-nebak jika sekbid nya itu diomelin sama adek nya sendiri. Bagus deh, mode bocah lebih rese daripada mode biasa.

"Kak, kakak dimana?"

"Gw di dalam, sebentar. Otw keluar nih," segera saja Supra keluar dari aula, kaki nya berlari kecil menuju gerbang asrama. Mata nya menyipit menatap Halilintar yang bersiap menyerang diri nya, segera saja dia menggendong Halilintar yang memberontak lalu menyuruh Beliung yang baru saja sampai di parkiran untuk memasukkan mereka berlima ke dalam aula.

"YEPASSS!!!"

"Yang rewel, gw kasih ke biawak." Halilintar semakin menjerit, dia hampir menangis jika saja Supra tidak membekap bocah itu. Segera Supra berlari membawa Halilintar ala karung beras dengan ransel bocah itu, sedangkan yang lain hanya menghela napas panjang.

Duri menatap Beliung, dia terkekeh kecil sambil mendorong tubuh Taufan untuk mendekati si cowok berambut biru dongker tersebut. "Kak, titip anak dulu, ya? Nanti kalau rewel, gantungin aja di rooftop."

"Pekok..." Beliung menggendong Taufan lalu menggandeng Gempa, Blaze dan Ice, dia izin masuk ke dalam asrama meninggalkan Duri yang hanya bisa tersenyum. Seperti memasuki anak-anak nya ke dalam pondok pesantren, padahal cuma pelatihan tingkat fakultas.

"Yasudah, mari kita balik..." Duri berjalan pelan masuk ke dalam mobil, dia mengendarai perlahan menjauh dari asrama. Dalam hati nya, semoga saja kelima bocah itu tidak melakukan hal-hal aneh lagi. Semoga saja.

•❅──────✧❅𝑺 𝒖 𝑵❅✧──────❅•

Sori duduk di samping komputer, dia menggaruk kepala nya lalu menoleh kesana-kemari, mata nya yang masih setengah sadar segera saja memanggil salah satu panitia dari prodi nya. "Kok rame banget, Ren? Ini bukannya hari libur?"

Rendy, si mahasiswa semester dua itu hanya tersenyum tipis. Dia menampar pelan pipi Sori membuat si empu meringis. "Bang, bangun. Ini LKTF, kocak."

"Hah? Ooo... HAH?!" Sori membulatkan mata nya, dia membuka HP nya yang sudah di charger dan melihat pesan dari keluarga dan teman-teman nya. Tiga belas panggilan dari Supra, lima panggilan dari Gempa, dan paling utama, tiga puluh lima panggilan dari Frostfire. Mati sudah diri nya kali ini, mana dia nginep di lembaga gak bilang ke kakak pertama nya.

'Ya allah... Semoga masih sempet ke asrama.' —Wicaksono.

"Loh? Mini ku? Kok baru bangun?" Sori berhenti sejenak, dia melihat jam lalu menatap kak Lillah yang hanya tertawa kecil. Jujur saja, dia pasti diledek karena bangun kesiangan.

"Kak... Sori buru-buru, nanti aja ya bercanda nya."

"Yaudah sana, jangan lupa izin ke mamas mu. Tadi pagi dia ke sini, tau." Wah... Nyawa Sori sudah diujung tanduk :).

•❅──────✧❅𝑺 𝒖 𝑵❅✧──────❅•

Pembukaan sudah dimulai, Supra menghela napas panjang lalu membuka HP nya. Dia melihat kontak Sori, tidak ada balasan dari kembaran nya. Kemana anak itu? Bukankah janji datang lebih awal? Padahal dia menginap di lembaga?

"Acara selanjutnya sambutan dari Gubernur BEM FKIP, kepada saudara Ardennes Faisal dipersilahkan." Cowok mata merah keemasan itu mengetuk-ngetuk jari manis nya di meja, dia benar-benar gelisah dengan keberadaan Sori. Dimana anak itu? Mengapa lama sekali?

Disisi lain, Sori berlari cepat melewati kebun belakang FISIP. Dia melompat dari anak tangga ke anak tangga yang lain, setelah sampai di atas, cowok mata mint itu mengatur napas nya sejenak lalu kembali berlari menuju asrama. Kaki nya berbelok ke arah kanan, mata nya memincing melihat panita yang menunggu nya di gerbang. Segera saja dia melompat dari pagar lalu mendarat tepat di belakang pagar.

Kaki nya mulai kram, tetapi Supra dan yang lainnya sudah menunggu. Tidak ada waktu untuk istirahat.

"Wicaksono?!" Sori menatap salah satu anak IKM, dia hanya tersenyum tipis lalu masuk ke dalam asrama. Tas nya di lempar ke sebelah, menumpuk bersama beberapa tas yang terlambat datang. Cowok mata mint itu memakai almamater nya lalu masuk ke dalam aula sambil menundukkan kepala, dia berjalan perlahan ke meja sebelah Supra lalu duduk.

"Lu lari?"

"Menurut lu? Hahh... Hahh... Bentar, gw atur napas dulu..." Supra mengusap wajah nya, dia memberikan air mineral milik nya ke Sori. Sori hanya menatap kembaran nya, dia memukul pelan pundak Supra lalu tersenyum tipis. Tangan nya mengambil botol mineral itu lalu meminum nya perlahan. Mereka berdua mulai mengamati acara yang baru saja dimulai, setelah itu mereka menuju kamar.

Sori, Supra dan Beliung menatap kamar mereka, terletak di lantai dua dan sebelah kanan kiri mereka itu panitia cowok. Sayang sekali kamar yang akan ditempati itu di tengah, Beliung mengusap wajah nya, merasa khawatir jika para Suwanda ketauan.

"Ini gimana dah? Bocah-bocah diajak ke atas?" Supra mengangguk, dia menatap beberapa panitia lalu membuka pintu kamar. Terlihat luas, cukup untuk mereka ber delapan nanti. "Kita harus nyelundupin mereka berlima, tapi kalau bisa, satu-satu. Jangan seabrek."

"Kalau satu-satu apa kagak ditanya? Kita bawa mereka taro di karung beras aja bakalan ditanya." Sori memijat kening nya, dia melirik ke arah tong sampah dorong. Senyumannya melebar, dia memukul pundak kedua cowok tiang itu lalu menunjuk ke arah tong sampah. "Pake itu, biar mereka bisa masuk semua."

"Berlima?" Tanya mereka serentak.

Sori menggelengkan kepala, dia menarik kedua orang itu ke dalam kamar lalu menutup pintu. Cowok mata mint itu mengeluarkan buku dan pulpen, dia mencari lembar kosong lalu mencoret-coret membuat strategi agar kelima bocah itu bisa masuk ke dalam kamar.

"Begini, yang dimasukin pertama itu si bontot. Nah, habis mereka berdua masuk ke dalam tong sampah, baru si trio rese ini. Jadi kita cuma bolak-balik dua kali, gak lama."

"Tapi kalau kita bolak-balik, sama aja diintai dong? Kenapa gak gini aja," Beliung mengambil pulpen Sori dan mencoret beberapa gambar di kertas kosong lalu menunjukkan kepada dua kembar Ngalengka itu. "Nih, tiga nya yang dimasukin ke tong sampah, dua nya dimasukin ke karung."

"Ntar kita dikira nyulik orang? Baru hari pertama loh? Jangan ngawur lu pada."

"Ya mau lu gimana, Cahya? Sekbid lu kan bawel kalau gak diajak ke kamar."

"Begini deh, kita masukin aja sekarang—." Beliung menjeda ucapan nya, dia menatap pintu kamar yang terbuka. Terlihat Nova yang menatap ketiga kakak tingkat nya dengan pulpen dan kertas yang sudah dicoret-coret, ingin curiga tetapi materi pertama sudah dimulai.

"Ei angin beliung, pemateri wes teko."

"Aelah, otewe deh." Sori dan Supra saling tatap, cowok mata mint itu tersenyum tipis namun dibalas gelengan oleh kembaran nya. "Gak ada... Dia gak tau apa-apa..."

"Lah? Dia tuh temen nya si Aze, bisa dibantu malah." Nova terdiam mendengar nama teman nya di sebut, mata nya berkedip lalu menatap teman satu kost nya yang hanya dibalas dengan senyuman ala kumon. "Bang, lu bertiga bahas apa sih?"

•❅──────✧❅𝑺 𝒖 𝑵❅✧──────❅•

Kini ketiga cowok itu duduk di belakang, mereka menatap proyektor yang menampilkan materi pertama. Filsafat Aksiologi, materi yang membuat Supra menjadi serius menyimak dan mencatat. Berbeda dengan Sori dan Beliung yang menahan ngantuk, mereka berdua hanya bisa menguap sambil mencoret-coret kertas.

"Bang, mau nanya, kenapa kita harus tau sama tiga ciri nilai? Sedangkan kita aja tau nilai subjektif, nilai yang berkaitan dengan praktis, sama nilai yang berkaitan dengan objek itu apa aja. Itu betulan nyambung sama Filsafat Aksiologi nya kah?"

"Nah bagus, nama lu siapa?"

"Saneira Supra, dari PTI." Pemateri bertepuk tangan, dia menatap semua peserta lalu menunjuk ke arah proyektor. "Bisa kita lihat, kenapa tiga ciri ini masuk ke dalam Filsafat Aksiologi, menurut lu, Sup, Filsafat Aksiologi itu gimana?"

Supra mengerutkan kening nya, dia meregangkan tubuh nya lalu menatap sang pemateri. "Filsafat Aksiologi itu ilmu yang menilai? Karena kan secara etimologi bahwasanya Aksiologi diambil dari kata 'Axios' yang berarti nilai, sedangkan 'logos' itu ilmu. Dalam bahasa Yunani kuno menjelaskan seperti itu."

"Kalau saya artikan, filsafat yang mempelajari ilmu yang mengandung nilai. Itu berkaitan dengan baik atau buruk, bernilai bagi manusia, atau paling penting nya itu tujuan nya. Begitu sih, bang."

"Yup, tapi itu baru sebagiannya. Nilai yang kita pelajari itu apakah betulan bernilai atau tidak, karena nilai juga etika dan estetika. Sekarang kalian tatap ini," pemateri itu mengambil buku di meja depan, dia mengangkat buku itu lalu menunjuk ke arah Sori. Sori yang di tunjuk merasa grogi, dia hanya menatap pria itu sambil tersenyum kikuk.

"Itu yang sebelah Supra, coba jelasin. Menurut lu ini masuk dalam nilai apa?"

"Eee... Praktis? Karena yang kita liat itu dari barang nya, berguna dan kita bisa tau isi dari buku tersebut." Pemateri itu mengangguk, sedangkan Supra dan Beliung menahan tawa nya melihat wajah Sori yang memerah. Cowok mata mint itu mencubit lengan mereka berdua membuat kedua nya meringis kesakitan.

"Apa yang dibilang nya itu benar kok, kita di sini diskusi. Gw gak mempermasalahkan itu jawaban salah atau benar, jadi jawaban nya praktis itu bagus. Dia nyimak berarti." Sori mencolek lengan Supra, yang dicolek hanya menatap sinis. Apa-apaan? Sori melihat catatannya, anak itu tidak mencatat sama sekali. Beboro deh catat, daritadi buka HP terus chat teman nya Blaze buat nanyain Gempa gimana keadaan nya.

"Buku itu manfaatnya pasti ada, makanya disebut praktis. Coba kalian buka google nya, di sini megang HP kan?" Semua peserta mengangguk, mereka membuka google dan mencari lukisan yang dibilang pemateri. Beliung mengerutkan kening nya, dia merasa lukisan yang dibilang pemateri ini terasa... Hampa? Hanya ada dua warna, oranye dan kuning.

Dia mengedipkan mata nya, merasa bingung ingin menjawab apa yang dia liat. Sedangkan Sori dan Supra sudah berantem kecil-kecilan, mereka berdua tidak memperdulikan lukisan nya, tetapi ulah rese Supra membuat mood Sori naik turun.

"Lu tuh bisa gak sih diam? Gw udah diam, kepet!"

"Cowok jangan ngambek dong, nanti gak dibeliin es duren depan gerbang kampus." Sori ingin memukul kepala Supra namun tangan kiri nya ditarik sama Beliung, cowok rambut biru dongker itu menunjukkan lukisan nya lalu menyuruh kedua kembar itu diam dan mengamati apa makna dalam menilai secara subjektif.

"Menurut lu apa, Sup?" Tanya Beliung yang dibalas oleh Supra berupa gelengan kepala. Cowok mata merah keemasan itu menggaruk kepala nya, bingung untuk mendeskripsikan lukisan tersebut. "Ini lukisan nya Mark Rothko, kan?"

"Iyalah, lu yang nanya kenapa lu yang bingung sendiri, motor?" Supra ingin menjawab pertanyaan dari Beliung, namun disela oleh Sori yang mengangkat tangan nya lalu menjawab dari nilai yang dia liat tadi. "Perkenalkan saya Wicaksono Sori, saya mau menjawab mengenai lukisan milik Mark Rothko. Kalau yang saya liat itu hanya warna kuning dan oranye, dan kalau saya liat lebih teliti, terasa hampa."

"Oke, kalau Supra sendiri?" Supra menatap lukisan itu namun dibalas gelengan kepala. "Menurut saya, lukisan nya ya bagus, tapi terkesan kosong."

"Jawaban yang bagus, lebih tepat nya tentang perasaan dan emosi manusia nya itu sendiri. Kita sudah menilai secara subjektif, Sori bilang kalau terasa hampa, Supra bilang terkesan kosong. Itu menunjukkan emosional manusia, bahwa warna terang belum tentu merasa ceria. Bisa saja itu ada kehampaan, kegelisahan, dan jiwa nya." Pemateri menatap jam tangan nya, dia menghela napas panjang lalu menepuk tangan nya perlahan. "Oke, gw gak bisa jawab semuanya. Supra, kalau mau lebih detail, nanti bisa diluar acara. Sekalian yang lain juga kalau mau tanya, bisa nanti."

Pemateri duduk di bangku depan lalu moderator memberikan kesimpulan, Supra kembali mencatat sedangkan Sori dan Beliung menyontek kesimpulan dari Supra. Acara selanjutnya masuk sholat dhuhur, semua peserta keluar dari aula dan berjalan menuju kamar masing-masing. Sori, Supra dan Beliung masuk ke dalam kamar lalu menatap kelima bocah dan kedua cowok berbeda warna rambut itu tertidur pulas di lantai.

Sori merebahkan tubuh nya di kasur, dia menatap kedua cowok itu yang bersiap-siap untuk sholat. "Gantian ya, gw ngantuk banget..."

Supra memutar mata nya, dia memukul pantat Sori lalu masuk ke dalam kamar mandi. Sedangkan Beliung duduk di ujung kasur, dia menatap Taufan yang tertidur nyenyak. Helaan napas keluar lalu menatap Supra yang baru saja selesai wudhu.

"Kalau mereka... Gak balik-balik... Gimana?" Supra terdiam, dia menatap Beliung yang masih menatap Taufan lekat-lekat. Sebenarnya dia juga berpikiran seperti itu, meskipun sudah diberitahu bahwa hanya sebulan, tetap saja, prodi nya sedang ada acara juga. Lebih repot lagi kalau Halilintar tidak kembali ke wujud semula dan MUBES nanti apa siap semua nya tanpa Halilintar?

"Gw kurang tau, tapi yang pasti, kita biarin mereka ikut ke sini buat baca catatan kita. Urusan yang bawa materi itu siapa, bisa nanti. Gih wudhu, nanti gantian ambil makan." Beliung menendang pantat Supra, dia pergi menuju kamar mandi. Supra sendiri menghela napas panjang, dia menatap Halilintar yang tertidur lelap bersama saudara-saudara nya. Cowok mata merah keemasan itu berdiri di sebelah Blaze lalu mengelus rambut bocah itu.

Senyuman nya keluar meskipun tipis, dia berdiri lalu sholat. Setelah sholat, dia keluar dari kamar untuk mengambil makanan. Semoga saja anak-anak mendapatkan porsi nya masing-masing, semangat mencari alasannya, Saneira.

•❅──────✧❅𝑺 𝒖 𝑵❅✧──────❅•

Duri menatap langit sore yang mendung, dia menghela napas kasar lalu mengaduk minuman matcha latte nya. Cowok mata hijau gelap itu mengecek file milik kakak ke-dua nya, dia memasukkan beberapa surat yang sudah ditandatangani ke g drive. Dia tau jika ini bukan pekerjaan nya, tetapi merasa tanggung jawab nya sekarang mengurus kelima kakak nya yang menjadi kecil. 

Sebenarnya ada Solar yang mungkin bisa membantunya, tapi Duri hanya menyuruh kembaran nya fokus dengan ramuan pembalik. Duri tidak mau Solar memotong waktu nya hanya membantu diri nya saat ini, biarkan dia saja mengurus semuanya sendiri.

Duri mematikan laptop Gempa, dia menutup laptop nya lalu meminum matcha nya. Lagi-lagi Duri menghela napas, dia membuka HP nya dan melihat foto kelima kakak nya yang sedang memakan nasi warteg. Mungkin nyelip kelima remaja yang dia hanya mengenal tiga orang dan dua orang nya lagi kemungkinan panitia.

Sebentar... Dua orang panitia? Ini Supra yang melanggar janji atau itu teman nya si Blaze?

"Aduhh... Ini maksudnya apa coba? Tiba-tiba banget nambah member." Baru saja dia berdiri, tiba-tiba muncul Rimba yang menenteng kresek berisi jelly. Cowok rambut hijau neon itu menatap Duri yang terdiam menatap kehadiran nya. "Loh? Uget-uget di sini?" Tanya Rimba sembari memakan jelly yang ada di tangan kanan nya.

Duri memijat kening, dia mengangguk pelan lalu kembali duduk. Kali ini badan teman, setidaknya untuk mencurahkan isi hati, daripada dia marah-marah sampai di rumah karena alasan tidak jelas.

"Dokter baru selesai?"

"Hmm, niat nya gw mau langsung pulang, cuma, liat lu bengong sambil natap laptop ya gw samperin aja. Tumben banget, kepikiran sama SNBT?"

"Ah bukan..." Rimba mengerutkan kening, dia menatap sengit bocah yang berada di sebelah nya. "Terus?" Tanya nya kembali.

"Kepikiran kakak-kakak ku yang ikut LKTF," cowok mata hijau gelap itu menarik napas lalu bercerita mengenai kelima kakak nya dan ulah Solar yang membuat mereka berdua sekarang kebingungan. Jujur, untuk pertama kali nya Duri mengurus anak kecil, biasanya dia yang berulah dan Gempa akan selalu menegur, Halilintar yang men sidang dan Taufan bagian marah dengan cara mendiamkan mereka berdua.

Itu semua ada di dalam diri nya saat ini, menegur kakak-kakak nya, menyidang, dan marah dengan cara diam kepada kelima kakak nya dan Solar. Semua sifat ketiga kakak pertama nya berada dalam diri nya, seharusnya sih Duri tidak perlu mengomeli mereka, harusnya dia mengajak kelima nya yang mumpung menjadi anak kecil itu mencuri mangga dan rambutan. 

Ajaran sesat siapa sih kalau bukan Blaze...

"Itu tandanya lu siap menjadi dewasa."

"Hah? Gak salah dengar?" Rimba terkekeh kecil, dia mengangguk sambil memakan kembali jelly nya. "Iya, tiga sifat kakak lu masuk ke dalam tubuh lu, belum lagi mendidik mereka dengan cara kakak-kakak lu yang biasa mendidik ke elu dan Solar. Gak heran, lu bisa jadi Halilintar kedua atau Taufan kedua."

"Aduh jangan deh, kalau kak Hali, yang ada peka nya di ujung tanduk. Kalau kak Upan, ntar dikira duda manis. Mending jadi orang gila aja."

"Hehhh, lumayan padahal. Lu udah mau belajar cara merawat anak-anak di usia lu yang masih anak-anak," Duri berdecak sebal, dia mencubit lengan Rimba lalu memakan es batu milik nya. Sedangkan Rimba meringis kesakitan, dia mengelus lengan nya lalu menghela napas panjang.

"Gak ada minat buat ngurus anak kecil, bikin emosi aja."

"Tapi lu pernah ngurus kakak lu waktu jadi kecil, kan?" Duri mengangguk pelan, dia baru ingat waktu Halilintar pertama kali menjadi kecil. Dia pernah mengurus nya, ya ujung-ujungnya ngamuk ke Solar sih karena kelakuan setan nya yang merubah Halilintar menjadi anak kecil. 

 Kalau dipikir-pikir, Duri sudah siap menerima kenyataan menjadi dewasa. Hanya saja... Denial, masih tergolong remaja yang mau bermain, tapi teringat kata kakak ketiga nya 'kamu bakalan siap kok tanpa kamu bilang, aku gak mau kamu kepikiran aja buat jadi dewasa itu seperti apa. Karena, Deondra nya Rystalin tau jawabannya.'

"Dokter... Makasih..." Rimba melirik Duri tanpa menoleh, dia hanya mengangguk sambil menepuk pelan kepala Duri. "Ya masama, lu langsung pulang? Lagi hujan begini." Duri terkekeh kecil, mungkin dia akan berteduh sebentar sebelum kembali ke rumah.

Baru saja Duri kepikiran seperti itu, tiba-tiba HP nya berdering. Segera saja cowok mata hijau gelap itu mengangkat telpon dari Solar, dia melongo tak percaya dengan perkataan yang ada di sebrang sana.

"DURI!!! TOLONG!!! INI GIMANA GW MATIIN KOMPOR RUMAH?!"

"LUCIS SOLAR! KU TINGGAL SEBENTAR MALAH BIKIN RUMAH MELEDUK?!"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berubah

Taufan

Kembali