propaganda atau manipulasi?
Sori menahan emosi untuk tidak memukul Gempa, untung saja mereka bertiga kembali ke aula, jadi aman banget nenangin si mini penyuka durian itu. Beliung bagian ketawa kencang, sedangkan Supra bagian rekam video bagian Sori mengamuk. Lumayan dapat aib dari kembaran sendiri, emang kurang ajar bentukan kek Supra.
"Hayy gengss, balik lagi sama Saneira ganteng menawan ini, liat si tuyul pecinta duren deh, dia ngamuk-ngamuk gak jelas gegara sekbid nya nyari perkara mulu."
"Awas bae lu, bocah, gw buang lu ke selokan, terus gw cincang lu, terus gw kasih daging lu ke buaya. AWAS AJA!!!"
"Marah nya serem amat... Lu susah dapat cewek nanti, Cak." Sori melirik tajam ke arah Supra, dia menendang bangku Supra membuat si pemilik mata merah keemasan itu hampir kejengkang. Beliung ketawa lebih kencang, dia memukul meja. Untung saja aula sangat ramai, mengingat barisan cowok tuh rese nya bagaimana.
You know... Bener-bener bikin puyeng.
"Kakak-kakak, permisi, ini pemateri ke tiga sudah datang. Tolong bisa duduk di tempat nya masing-masing dan tolong jangan berisik." Semuanya kembali ke tempat masing-masing, Sori memainkan pulpen dan kertas di buku, Beliung membuka HP dan mengirim pesan ke Taufan sambil cekikikan, dan Supra yang sudah bersiap dengan materi.
Materi kali ini mengenai agitasi dan propaganda, cukup mengejutkan bagi Sori yang bertipe tidak menyukai menghasut dan membuat strategi. Tapi bagi Supra, itu adalah tantangan yang menarik. Beliung di tengah-tengah, dia menyukai pembahasan tentang ideologi namun tidak menyukai bagian agitasi.
"Kenapa harus pelajari ini..." Sori mengusap wajah nya, dia kembali mencoret-coret buku tanpa memperdulikan raut wajahnya Supra yang mulai serius. Supra mamutar matanya, dia memutar pulpen nya lalu menatap beberapa teman-teman nya yang bertanya mengenai materi tersebut.
Perbedaan dari agitasi dan propaganda, ingin rasanya Supra menjawab bahwa di proyektor sudah terpampang jelas perbedaan nya. Tapi dia juga masih bingung, rencana dan cara menghasut. Oh?
"Cak, menurut lu, kalau ada orang yang ngehasut aneh-aneh terus bikin seseorang yang dihasut itu merasa kepikiran, masuk dalam propaganda?"
"Hah? Ya beda lah, itu namanya manipulasi. Kalau propaganda tuh kek waktu perang dingin, lu ingat waktu SMA diajarin kan?" Supra tersenyum lebar, dia menggeleng pelan membuat Sori menepuk pelan kepala nya. "Ya maap, sejarah bikin gw ngantuk."
"Inilah bukti kalau mapel sejarah demen banget ke kantin, begini ya Cahya, manipulasi tuh kalau lu merasa ada ancaman. Iya mirip kek propaganda, cuma beda nya, propaganda masuk ke dalam ranah politik. Kalau manipulasi, lu benci seseorang dan lu mau bikin dia itu jatuh mental dengan cara muka dua."
Supra mengerutkan kening, perasaan yang dia tanya tentang propaganda, jangan sampai Sori berceramah seperti ayah di rumah. Belum saja Sori berbicara, Beliung menyela ucapan nya.
"Ngomongin soal propaganda dan manipulasi, itu sama aja tapi beda nya, kalau intinya tuh propaganda dalam ruang lingkup besar. Sedangkan manipulasi bisa dalam diri pribadi, itu yang gw tangkap. Kenapa bahas itu?"
Supra menghela napas panjang, dia menggeleng pelan lalu mencatat beberapa pertanyaan yang mungkin setelah materi ini bisa dia tanyakan kepada pemateri. Mata nya melirik HP nya, terlihat pesan dari Halilintar muncul. Bocah itu hanya memberi semangat dan mengirim foto bahwa dia sudah mencatat beberapa materi, Supra tersenyum tipis lalu menatap barisan cewek.
Terlihat seorang cewek yang menunduk, dia memainkan pulpen dan menggerakkan ujung jari telunjuk ke jempol. Alis nya mengkerut, merasa aneh tentang cewek itu. Ada apa? Dan bagaimana bisa cewek itu gelisah?
"Terimakasih kepada pemateri malam ini, kesimpulan nya..." Supra, Sori dan Beliung saling tatap, sepertinya pemikiran mereka mulai tersambung. Tatapan mereka bertiga tertuju pada cewek itu, Sori mulai mengaitkan tentang pertanyaan Supra dengan keadaan cewek itu. Ternyata kembaran nya bisa konek juga tentang masalah cewek, curiga kalau Supra pacaran diam-diam.
"Gw mau ke kamar mandi dulu, lu mau ikut?" Beliung menatap kedua kembar tengah Ngalengka itu, Sori menggelengkan kepala nya dan Supra hanya membalas dengan senyuman genit nya. "Ayo sini, nanti a'a sentorin."
"NAJIS MUNGGALADOH! GW CEKEK LU, SETAN!"
•❅──────✧❅𝑺 𝒖 𝑵❅✧──────❅•
Halilintar menguap, dia menatap keempat saudara nya yang masih aktif sambil bermain. Sebenarnya yang main cuma Blaze dan Ice, itupun main sama grombolan nya. Iya tau, temperduo geng.
Apakah Gempa dan Taufan tidak bermain? Ya tentu main, kalau ditanya apa yang mereka berdua lakukan, jawabannya mereka main ludo. Iya, permainan bikin emosi terkuras habis, mana yang kalah si coklat bokem itu. Taufan ketawa ngakak lah.
"Thalah agi..."
"Mathana, anan ajalkan athu main, cepuh." Taufan menggelengkan kepala, dia kembali menekan dadu di HP ke-dua milik Beliung lalu jalan enam kali dan kembali memainkan dadu nya. Enam kali dia dapat angka enam dan hanya sekali mendapatkan angka satu, Gempa mah sisa nya. Kalau gak empat ya lima. Batin mu kuat kok, meskipun dirimu ingin meninju wajah kembaran mu.
"Ayin agi apahh?" Gempa bertanya kepada Halilintar yang menatap buku berjudul Filsafat untuk Berpikir Kritis, dia menatap Gempa lalu menggelengkan kepala nya. "Ndakk, agi bacaa."
"Bacaan lu berbobot, kak. Lu lagi jadi bocah, kamuflase dulu kek jadi anak kecil." Ucapan Nova tidak ada salah nya, tapi Halilintar hanya ingin membaca sebentar. Dia merasa belum begitu berguna untuk berpikir, untuk membalaa debat antara diri nya dengan Supra saja masih menangan Supra. Jujur... Halilintar merasa iri dengan pemikiran yang Supra punya, meskipun jamet nya anak itu melekat, tapi Supra bisa bersosialisasi, bisa menjadi ketua bidang yang pemikiran nya sejalan dengan ketum.
"Athu au keyual boyeh?" Blizzard meringis kecil, dia merasa tidak enak melarang Halilintar. Tetapi ada panitia yang lain, bagaimana cara izin nya?
"Kalau kakak mau keluar, silahkan. Tapi kakak cari tempat aman, biar gak ketauan sama peserta, panitia, ataupun BEM IKM." Halilintar mengangkat jempol kecil nya, segera saja dia mengambil jaket milik nya yang masih tersimpan waktu menjadi kecil lalu keluar dari kamar. Gempa menatap kepergian Halilintar, dia mengirim pesan ke Sori. Perdebatan kecil untuk memulai percakapan, setelah itu, Sori mengatakan jika Supra menyusul Halilintar.
"Ayin thenapa yahh... Dia anyak pikilan..." Taufan bergumam pelan, dia kembali bermain bersama Gempa. Mereka berdua terdiam dengan pikiran masing-masing, kemungkinan terbesar Halilintar keluar tadi ada dua. Yang pertama, dia minder, atau yang kedua, dia ragu dengan Supra yang pinter berbicara di publik.
•❅──────✧❅𝑺 𝒖 𝑵❅✧──────❅•
Halilintar berjalan pelan menurunin tangga, dia berhenti sejenak di belakang aula lalu menatap sekitar. Sepi, berarti masih ada yang di dalam kan? Bisa lah, palingan juga cuma bolak-balik ke kamar mandi. Halilintar berjalan cepat keluar dari gedung belakang lalu menatap danau yang deras serta hutan yang gelap, menurutnya memang menakutkan, tetapi jika tidak jalan-jalan pasti dia bosen.
'Bagus deh, gak ada yang tau gw di mana. Gumoh anjir di kamar mulu, moga si motor kagak tau—.'
"Ngapain?" Halilintar terkejut, dia menolehkan kepala nya ke belakang lalu tersenyum kikuk. Keciduk juga sama Supra, mana Supra kek bapak-bapak banget tampang nya. Tangan nyilang di dada, raut wajah yang terkesan datar, bersiap menginterogasi Halilintar. Sebelum Halilintar berbicara, mereka berdua bersembunyi di tempat yang aman.
Supra dan Halilintar mengintip, mereka melihat perdebatan antara dua cewek. Yang satu rambut bob dan yang satunya lagi rambut merah kecoklatan, Supra mengerutkan kening, yang rambut merah kecoklatan itu cewek yang panik tadi kan?
"Denger ya, kalau lu naik ke BEM atau ditunjuk, jangan harap lu bisa lolos dari gw. Bisa aja gw suruh orang-orang buat benci sama lu, karena lu itu gak pantas."
"Maksudnya apa sih? Aku gak pernah nyari masalah sama kamu, kenapa benci banget? Kalaupun aku ikut LKTF bukan berarti rebutan jabatan, aku cuma nambah materi aja."
"Wahh? Gw percaya? Jangan harap, lu tuh terlalu menonjol di antara cewek-cewek di kelas. Nanya mulu, kek siap aja dapat posisi paling tinggi." Cewek rambut bob itu mendorong bahu si rambut merah kecoklatan, dia menunjuk ke arah wajah cewek itu sambil menatap tajam. "Jangan harap lu tenang, karena gw bisa tau apa aja gerak-gerik lu."
Cewek rambut bob itu pergi dari sana, meninggalkan cewek rambut merah kecoklatan itu yang terdiam. Supra menutup mulut Halilintar, meminta untuk tenang membuat bocah mata merah gelap itu kebingungan. Harusnya bantu nenangin cewek itu kan? Masa jadi korban terus dibiarin mikir sampai mental nya jatoh?
"Thamu udah diajalin than entang plopaganda?"
"Propaganda, cil... Gw udah tau dikit, tadi nya kalau lu gak banyak tingkah, gw mau tanya tentang beda nya manipulasi sama propaganda. Tapi habis liat si rambut pendek itu, kek nya gw tau kalau dia juga tadi aktif di kelas."
"Caingan?" Supra mengangguk, meraka berdua menatap cewek rambut merah kecoklatan itu. Ternyata dia menangis, segera saja Halilintar keluar dari tempat persembunyian lalu menghampiri cewek itu. Supra menggaruk-garuk kepala nya, bingung tapi dia mau nya si Halilintar gak keluar atau nunjukin keadaan nya saat ini. Berabe.
"Hallo anak PAUD!!!" Cewek itu tersentak, dia menatap bocah yang menghampiri dirinya lalu mengelap air mata nya. Senyuman nya terbit, menutupi rasa takut dan khawatir tentang tadi. "Kok adek di sini? Kamu gak dicari sama ayah sama ibu mu?"
"Ndakk, thamu enal athuu, Ayiyintal." Cewek itu terdiam, dia hampir menjerit jika saja Supra tidak menutup mulut nya. Mata nya menatap Supra yang menghela napas panjang, dia mencubit lengan cowok mata merah keemasan membuat si empu meringis kesakitan. "Sakit, telek! Lu kira gw apaan?!"
"Ini Lintar? Ngawur ah, kata lu, dia lagi sakit di atas!"
"Ndakk, athu adi kecik cama codala athuu." Cewek itu menatap sengit Supra, mau tidak mau akhirnya Supra menjelaskan semuanya mengenai Halilintar dan juga beberapa lagi yang menjadi kecil. Cowok mata merah keemasan itu mengusap wajah nya, dia menatap mata cewek itu yang kembali menunduk.
"Lu gak nyangka atau mikirin yang tadi?" Cewek itu tersentak kecil, dia menggelengkan kepala sembari tersenyum tipis. "Gw kepikiran aja kok bisa Halilintar yang jutek jadi bocah imut."
"Ndakk pil, athu tetap anak PTI."
"Anak PTI mana yang jadi bocil kek lu, Lin?" Hali berdecih, dia menendang rumput. Bocah itu merasa kesal, tetapi kekehan kecil dari cewek itu keluar membuat hati Halilintar merasa tenang. Sedangkan Supra sendiri menatap lekat-lekat cewek itu, dia menepuk pelan kepala nya membuat si empu merinding ketakutan.
"Apa nih? Lu ngapain—."
"Lu di teror? Jawab jujur aja, Vin." Eshvina terdiam, dia menatap ke arah lain namun kedua pipi nya dipegang oleh Halilintar. Bocah mata merah gelap itu cemberut, dia memeluk erat cewek itu. Membantu menyemangati lewat pelukan.
"Kalian gak usah khawatir sama gw, serius, gw gak kenapa-kenapa kok. Itu juga udah biasa kena di gw dari SMP."
"Bukan berarti lu diam aja, lu diancam, sama siapa sih tadi? Si Selena?"
"Ethan!" Supra dan Eshvina menatap datar Halilintar, cewek itu menjitak pelan kepala Halilintar, berbeda dengan Supra yang menendang pantat bocah itu. "Ngawur, lu mau gw buang ke kandang biawak? Noh, sebelah parkiran."
"Aaaa!!" Eshvina menutup mulut Halilintar, dia menggendong bocah itu lalu menendang kaki kiri Supra. "Jangan nakutin sekbid lu, kampret! Dan soal tadi, itu udah biasa kok. Lu berdua jangan khawatir sama gw."
"Kenapa? Karena kita orang asing? Justru karena kita orang asing, pasti ada nama nya pendekatan." Eshvina terdiam, dia menatap Supra yang khawatir dengan dirinya. Tunggu sebentar, khawatir dengan dirinya? Buat apa? Lagipula, dia sudah terbiasa menghadapi rasa sakit sendiri tanpa orang-orang ketahui.
Dia menatap Halilintar dan Supra, merasa jika kedua nya memiliki empati yang besar terhadap dirinya yang terlalu tertutup. Cewek itu hanya tersenyum ke arah Supra sambil bergumam bahwa dia tidak apa-apa. Supra menghela napas panjang, dia menepuk pelan kepala Eshvina, dia mengambil ahli gendong Halilintar lalu izin pergi meninggalkan cewek itu.
Tidak ingin mengganggu momen sendirian, Supra memberi pesan kepada cewek itu, jika masih di ancam, bisa lapor kepada nya. Halilintar yang denger cuma angkat alis satu, keren amat lu begitu, Sup?
"Ayik amall!!"
"Sabar bocil! Dah ya, gw mau balik ke kamar dulu. Jangan lupa ngabarin, awas bae lu." Eshvina mengangguk pelan, Supra membalikkan badan nya dan berjalan memasuki gedung. Halilintar tersenyum miring sambil memainkan alis nya, membuat cowok mata merah keemasan itu kebingungan. "Apa? Lu kenapa begini?"
"Thamu nakcil yahh?"
"Anak kecil gak boleh ngomong begitu, siapa yang ngajarin?" Halilintar memasang muka marah, tapi menurut Supra, bocah itu seperti kebelet berak. Dia berlari cepat menuju kamar dan memasukkan bocah itu ke kamar, meskipun mereka debat sedikit mengenai Halilintar yang tidak bisa keluar dari kamar dan ekhem— mengenai cewek rambut merah kecoklatan itu— Supra tidak bisa mengelak jika dia memikirkan Eshvina.
"Ntal apahh?"
"Diskusi, mau bahas buat buang lu ke selokan terus di ngap sama biawak." Halilintar hampir teriak, Supra segera menutup pintu kamar dan kembali menuju aula. Di sana ada Eshvina bersama teman-teman nya, beruntung cewek rambut merah kecoklatan itu bergabung dengan grombolan cewek-cewek PTI. Apalagi Lyann kan bocah gila, kalau kata Supra.
"Lama amat, Hali kecebur got?" Sori yang berada di sebelah nya bertanya, dia menatap Supra yang melirik ke arah cewek rambut bob. Cowok mata mint itu menyipitkan mata, dia merasa bingung dengan tatapan Supra yang terkesan... Dendam?
"Ada yang naik ke BEM sama IKM?"
"Ohh, kalau di-lobby pasti ada, tapi kata bang Louis, kalau itu terserah kita aja. Mau ikut apa enggak." Supra menghela napas kasar, dia menatap kedua cowok itu lalu melirik tanpa menoleh ke arah cewek rambut bob itu. "Siapa nama nya? Gw mau jadiin dia bahan evaluasi dan presentasi nanti."
Komentar
Posting Komentar