memasak bersama
Gentar menatap Glacier yang sedang menyiapkan adonan aci, cowok mata merah kecoklatan itu berhenti di depan dapur. Dia hanya terdiam, memperhatikan bagaimana Glacier yang terus membuat bulatan kecil untuk ditusuk dengan tusuk sate.
Ayah yang baru saja keluar dari rumah hanya menatap anak ke lima nya, beliau tertawa kecil lalu menghampiri anaknya dan menepuk pelan kepala Gentar. Cowok itu terkejut, dia menoleh ke sebelah lalu memasang wajah datar.
"Jangan bengong, le. Nanti kesambet loh."
"Siapa juga yang kesambet? Permisi." Ayah hanya menggelengkan kepalanya, membiarkan Gentar pergi dari sana dan menatap kedua anaknya yang mengobrol sambil membuat makanan.
Berpindah ke Gentar dan Glacier, mereka berdua sebenarnya tidak mengobrol, lebih ke saling menghina satu sama lain. Lagipula, sudah lama sekali mereka berdua tidak berinteraksi, mungkin karena Gentar yang sibuk mondar-mandir ke kampus untuk mencari tata letak di mana kelas atau Glacier yang terus mengurung diri dalam kamar.
Sepertinya memang Glacier saja yang kelamaan di kamar, mikirin kerangka skripsi tapi hasilnya scroll aplikasi lain. Emang sungguh unik anak satu ini.
"Gw kira lu lupa cara bikin cilor, bang."
"Ngawur, gw inget ya. Paling buka resep lagi, mau bantu gw apa mau kena cipratan minyak?" Gentar tertawa kecil, dia membantu membulatkan adonan aci bersama Glacier. Mereka berdua saling berebut mengambil tusuk sate, setelah itu Glacier menyuruh Gentar untuk cuci tangan dan membiarkan dirinya merebus aci.
Glacier menatap Gentar, dia terkekeh pelan melihat adeknya yang memainkan sendok dan garpu. Cowok mata biru kecoklatan itu memberikan mangkuk yang berisi dua butir telur, Gentar menatap mangkuk tersebut lalu menaikkan alisnya seakan bertanya 'apa ya?' kepada Glacier.
"Dikocok telurnya."
"Hah?" Glacier menghela napas panjang, dia mengambil satu butir telur lalu memecahkan telur itu dari kepala Gentar dan menuangkan isinya di mangkuk. Gentar hanya memutarkan matanya, males marah-marah dengan Glacier. Kalau dia marah-marah, yang ada barang-barang kesayangannya dibuang oleh kakak ke-duanya itu. Jangan ambil resiko ah.
"Diaduk yang bener, sama garamnya—OI BOCAH?! LU TAMBAHIN APAAN ITU?!"
"Oh? Kata suruh tambahin garam, ya gw kasih satu sendok." Glacier mengatur napasnya, jangan, jangan ngamuk dulu. Nanti Gentar ngadu ke mamas, bahaya kalo ngadu, bukan masalah kamarnya yang dipindahin, tapi dia juga disuruh tidur bersama mamasnya. Bahaya itu, tidak ada ruang rahasia antara Glacier dengan lagu-lagu ndxnya.
Cowok mata biru kecoklatan itu mengganti mangkuk dan memecahkan telur baru, dituangkan dia butir telur tersebut lalu mengocok secara perlahan. Sembari mengocok, Glacier meminta Gentar menuangkan garam setengah sendok. Hampir saja dia mengamuk jika ayah tidak muncul dan menuangkan garam sesuai takaran.
"Bang, jangan ngamuk. Adekmu belum belajar masak yang benar."
"Nih kalo bisa, ku jual betulan si jamet pengkolan satu itu." Gentar menelan ludahnya susah payah, dia hanya tertawa kaku lalu berjalan pelan menuju panci rebusan aci. "Bang, ini udah mendidih kah? Gw mana paham masakan beginian."
"Pegang coba pake garpu, rasain dulu, dah kenyal atau belum?" Sebentar... Ini disuruh cicip duluan satu tusuk? Atau satu buntelan kecil?
"Allahuakbar Angga... Gak dia tusuk kamu cicip, le." Glacier menoleh ke belakang, dia menarik napas perlahan dan menjambak rambut Gentar. Cowok mata merah kecoklatan itu berteriak histeris meminta maaf, ayah berusaha memisahkan ke-dua anaknya supaya tidak berantem lebih parah.
"Udah udah, jangan berantem. Abang, jangan marah, jangan aneh-aneh ke adeknya. Angga juga, jangan bikin abangmu marah-marah, kasihan dia. Udah stress mikirin hidup selanjutnya habis lulus kuliah."
"Aduh yah, kek bang Acil grecep aja. Dia aja sibuk scroll tiktok—WIU WIU!!! JANGAN ANGKAT PISAUNYA, MAHASISWA AKHIR!"
Komentar
Posting Komentar