sekian lama

Frostfire menguap lebar, dia menaruh HP nya di meja ruang tengah lalu merebahkan tubuhnya di sofa. Matanya fokus ke arah TV, untung saja acara malam ini lumayan cocok untuk mood nya, drama china yang sebenarnya alurnya sudah paham. Yang penting nonton kalau kata Supra.

Ayah keluar dari kamar, beliau menatap anak sulungnya yang sangat anteng menonton drama. Persis seperti dirinya saat muda, sangat anteng jika melihat drama di TV, entah itu sinetron atau drama luar negeri.

"Mas, tidur di kamar kalo capek." Frostfire menoleh ke arah sumber suara, dia menggelengkan kepalanya lalu kembali fokus dengan tontonannya. Ayah hanya menghela napas panjang, beliau menghampiri anak sulungnya lalu menyuruh Frostfire untuk merebahkan kepalanya di paha kanannya.

Awalnya cowok mata biru merah itu tidak percaya, namun, entah pikirannya yang terlalu menumpuk berakhir bersama sangat ayah. Mereka berdua menonton bersama, tidak ada yang membuka topik pembicaraan sampai ayah membuka topik.

"Ibuk ada chat kamu?"

"Hah? Ibuk chat aku? Mana pernah, beboro chat, neror adek-adek mah iya." Frostfire menghela napas panjang, dia tidak mungkin tidak tau jika adek-adeknya di teror oleh ibu kandungnya sendiri. Aneh? Memang, entah mengapa keluarganya seakan bermusuhan dengan wanita ular itu. Padahal kata orang-orang, ibu adalah pelita harapan. Bagaimana jika ibu adalah seseorang yang membunuh jiwa mu dan saudara-saudara mu?

"Yah, ibuk tuh sebenarnya niat gak jadi istri ayah?" Pria setengah baya terdiam, beliau menatap anak sulungnya yang menatap dirinya lalu menghela napas panjang dan tersenyum ke arah Frostfire. Tangan kanannya mengusap rambut anaknya, beliau akhirnya menceritakan tentang sebenarnya terjadi.

Frostfire terdiam, dia hanya tertawa kecil lalu menendang ujung sofa. Untung saja adek-adeknya sudah tidur dan hanya mereka berdua yang ada di ruang tengah, ayah menahan tubuh Frostfire supaya tidak mengamuk.

"Mas, jangan ngamuk."

"Siapa yang gak kesel sama dia?! Kalo emang gak mau tuh gak usah nekat—."

"Ayah gak ngajarin begitu, jangan marah. Itu juga ibuk mu."

"Yah?! Aku milih ayah nikah sama orang lain daripada sama setan kek dia! Kenapa harus dia?! Kenapa gak orang lain?!" Ayah hanya terdiam membiarkan Frostfire mengamuk, untung saja cowok mata biru merah itu hanya sebentar, dia mengatur amarahnya lalu menutup wajah dengan ke-dua tangannya.

"Ayah minta maaf sama kalian, karena ayah, kalian jadi korbannya."

"Bukan salah ayah, udah bagus cerai sama wanita ular itu. Hahh... Wanita stress!"

"Riwanda..." Frostfire mencium tangan sang ayah, lebih baik meminta maaf daripada ngamuk gak jelas lagi. Cowok mata biru merah itu kembali menarik napas dan membuangnya dengan perlahan, wajahnya masih memerah menandakan jika dia marah. Hanya sebentar, wajar, Frostfire memang mirip seperti ayah, sama-sama tidak tega.

Kembali sunyi menyelimuti mereka, hanya ada suara TV dan jam dinding. Frostfire kembali fokus dengan acaranya, dia tidak mau membahas wanita itu, sudah menguras kesabarannya. Ayah juga tidak membuka topik, mengerti suasana hati anak sulungnya.

"Kemarin San sama Wicak kenapa rusuh di kamar mu?" Kembali ayah membuka topik, membuat Frostfire menghela napas panjang dan menceritakan bagaimana kerusuhan yang dibuat oleh ke-dua adeknya itu. Frostfire memang sudah menduga jika adeknya, si Supra itu akan naik jabatan. Tidak masalah, lagipula Frostfire juga mendukungnya.

Tapi untuk Sori, cowok mata biru merah itu tidak bisa menebak apa isi hati anak itu. Setau dia, Sori hanya berniat ikut LKTF saja, tidak ada niatan naik menjadi Gubernur BEM fakultas.

"Lu yakin mau naik? Lu sendiri aja gampang ragu sama orang lain."

"Yakin mas, kali ini gw gak akan lembek kalo dihasut."

"Gw izinin lu jadi calon Gubernur BEM fakultas, tapi kalo gak kepilih, jangan ngerasa semuanya gagal. Semuanya permainan politik, ingat, jangan sampai dendam."

"Gak tau lah, padahal ada ayah, ngapain minta tanda tangan sama izin dari aku." Ayah menepuk-nepuk pundak Frostfire, beliau terkekeh pelan sekaligus terharu karena Frostfire berhasil memerankan sebagai orang tua di rumah.

Frostfire kembali cerita, mengenai Supra yang katanya akan screening hari Jum'at nanti dan Sori yang masih menunggu informasinya lagi. Ayah hanya bertanya beberapa, seperti Sopan yang akhir-akhir ini sibuk, Gentar yang mulai mendekati dirinya, Glacier yang semakin rajin membereskan rumah.

Cowok mata biru merah itu menggaruk tengkuknya ketika mendengar kalimat terakhir, adeknya yang pertama itu sebenarnya kesurupan aja. Jangan disuruh skripsi an, anaknya udah dalam mood mau ngapain aja gas asal bukan ngurus skripsi.

"Yah, besok aku mau ketemu sama temen ku."

"Besok? Hari Kamis?"

"Hari Jum'at, tapi agak sore. Aku pulang kemungkinan agak malam, gak papa?" Ayah menepuk-nepuk kepala Frostfire lalu mengacak-acak rambut anaknya, beliau berdiri dan menatap anaknya dengan senyuman bangga.

"Kamu sudah dewasa, kamu sudah bisa ambil keputusan bagaimana dan apa solusinya. Makasih ya mas, maafin ayah yang gagal mengurus kalian semua."

"Yah—."

"Tidur, besok kamu masih kerja. Jangan sampai tidur mu di jam subuh." Frostfire menghela napas panjang, dia menuruti perintah sang ayah. Setelah ayah masuk ke dalam kamar, Frostfire mengeluarkan HP nya dan mengirim chat ke grup sulung. Glacier membalas paling awal, lalu disusul Supra yang kebelet berak.

Isi grup pasti kalau bukan laporan anehnya si Supra, pasti laporan Frostfire telat pulang. Tapi setidaknya izin, pasti dua adeknya itu mengizinkan meskipun ada ricuh di grup.

"Kan kata gw juga apa... Supra punya dendam apa sih sama si hutan amazon? Nanti gw tanyain deh." Frostfire memasukkan HP nya ke saku lalu jalan menuju kamar, beristirahat lebih awal supaya punya tenaga ngomel besok.

✩.・*:。≻───── ⋆ 𝑵𝒈𝒂𝒍𝒆𝒏𝒈𝒌𝒂 ⋆ ─────.•*:。✩

Hari sudah berganti, Jum'at siang setelah sholat, Frostfire kembali mengurus cafe. Meskipun ramai, tapi tidak seramai hari biasanya. Cowok mata biru merah itu senang? Oh tentu senang sekali, itu tandanya waktu istirahat dia banyak.

clingg

"Ostyy, ada yang beli tuh." Frostfire tersenyum tipis, dia hanya menghela napas lalu membantu teman-temannya membuat pesanan. Gak papa, kan yang datang cuma satu atau dua orang aja, gak mungkin lah gerombolan datangnya.

"KOK YANG MESEN BANYAK?!"

"Makanya liat keluar, koplak! Yang datang satu kelas!" Frostfire menghela napas panjang, tidak menyangka kalau yang datang mainnya keroyokan. Semangat Riwanda, kamu sendirian kok.

»»————> 𝑲𝒐𝒔𝒕 𝟑 <————««

Rimba membereskan barang-barangnya, senyumannya tidak luntur sejak tadi pagi. Beliung sudah nanya kenapa si hijau neon itu, tapi Rimba hanya membalas jika dia ingin bertemu dengan teman lamanya. Cowok rambut biru dongker itu hanya mengangguk lalu pergi meninggalkan Rimba.

Beliung takut aja sih lihat Rimba senyum, soalnya waktu ToD itu udah bikin dia jera. Rimba dapat dare jadi kalem, ya besoknya langsung hukum Beliung dan Voltra suruh makan oat selama dua minggu tanpa makan nasi.

"Lama betul lah, apa gw samperin aja ya si Osty?" Rimba membuka HP nya, dia melihat jam sudah menunjukkan angka empat lebih empat puluh lima menit. Baiklah, saatnya Rimba mendatangi teman satu angkatannya itu.

Cowok rambut hijau neon itu mengambil helm dan jaket, dia memakai helmnya dan mengendarai motornya menuju cafe Frostfire. Hanya membutuhkan waktu lima menit—dia trobos lampu merah dan nyalip—Rimba sampai di cafe temannya. Segera saja cowok rambut hijau neon itu memarkirkan motor dan menaruh helm di atas jok motor.

Rimba memakai jaketnya, dia berjalan memasuki cafe dan terdiam sejenak di depan pintu. Pelanggan yang rame, banyak yang seusianya memantau laptop dengan minuman kopi. Sudah biasa dia lihat seperti itu, palingan kalo kambuh bisa diomelin panjang lebar dan nasihat yang sangat amat baik untuk didengar. Kalau masih mau aman sih lambungnya.

"Permisi kak, apakah sedang mencari tempat duduk?" Rimba menatap pelayan itu, dia mengangguk pelan lalu menatap tempat yang kosong. "Ah, sepertinya saya bisa cari sendiri. Apa Riwanda Frostfire sudah selesai?"

"Oh kak Frostfire? Nanti aku panggil, kakak bisa duduk dulu dan memesan." Rimba mengangguk lalu berjalan menuju tempat yang kosong, meskipun pojok tapi tidak menjadikan dirinya sebagai daya tarik para pelanggan temannya. Mungkin karena rambutnya, ah sudahlah, rambutnya memang aneh sejak kecil.

"Pesen apa lu?" Rimba menoleh ke arah sebelah, dia berdecih melihat wajah Frostfire yang datar. Cowok rambut hijau neon itu membuka QR menu lalu menunjuk ke arah matcha latte lalu Frostfire kembali menuju ke tempatnya, Rimba hanya menghela napas panjang lalu kembali duduk.

"Nih pesenan lu, sekalian jelly buat lu." Rimba mengedipkan matanya, tak percaya dengan pemberian Frostfire. Tangan kanannya mengambil kresek tersebut, melihat isinya lalu menepuk-nepuk kepala yang lebih tua, pertanda terima kasih kepada temannya.

"Makasih tua."

"Sadar, situ juga tua." Frostfire duduk di depan Rimba, dia meminum es coklat, mencari yang aman jika di depan dokter. Takut banget dimaki sama temannya sendiri, padahal dia sendiri juga sering denger adek pertamanya ngomel urusan rumah.

Mau heran tapi ini Frostfire.

"Tumben minta ketemuan, urusan koas udah kelar?" Rimba menatap Frostfire, dia menggelengkan kepala lalu meminum matcha latte miliknya. Helaan napas keluar, mengingat akhir-akhir ini butuh teman cerita. Pengen ngajak Pyo juga kayaknya gak baik, orangnya udah nikah, masa diganggu sama dia?

"Gw kepikiran... Pengen rasanya nyerah duluan di tengah jalan, tapi lu pasti marah."

"Menurut lu aja? Waktu kita PKKMB di lapangan, bukannya janji mau lulus cepat?" Tentu saja Rimba ingat, tidak mungkin dia lupa bagaimana waktu awal mereka bertemu. Masih ingat betul Rimba dikatain anak culun sama anak prodi karena selalu memakai topi dan kacamata untuk menutupi rambut dan warna mata anehnya itu.

Tetapi, Frostfire yang memakai kaos terbalik, langsung membelanya. Dia masih ingat, bagaimana temannya itu menghajar orang-orang yang berani mengatain Rimba culun.

"Kek hutan amazon bukan berarti lu ngatain seenak jidat, kek situ bisa masuk kedokteran bae. Sono balik ke prodi lu, ribut mulu kerjaannya."

"Awal di mana lu ngatain gw hutan amazon ye... Emang setan lu, tukang masak." Frostfire terdiam, dia hanya memeletkan lidah ke Rimba lalu tertawa kecil melihat wajah Rimba yang kembali ke setelan awal, judes. 

"Koas banyak banget teman yang kek waktu itu?"

"Lebih ke... Gw capek sih, teman-teman gw bantuin gw, tapi kayak sendiri aja kalo gw di IGD."

"Lu merhatiin apa sampai kayak sendiri di sana, Arimba Sukma?" Rimba terdiam, dia menatap mata biru merah milik Frostfire. Tatapan itu, dia kenal sekali. Tatapan yang sering sekali dia lihat ketika temannya masih di kampus, tatapan khawatir seakan dia adalah ayahnya Rimba. Rimba bahkan tidak pernah mendapatkan tatapan seperti itu waktu kecil, entah mengapa, Frostfire seakan muncul siap menemaninya dan menjadi ayahnya.

"Gw... Merhatiin anak kecil yang sama orang tuanya, ada rasa iri tapi... Lu tau lah, keluarga gw gimana sama gw." Tangan kiri Frostfire menepuk-nepuk pelan kepala Rimba, dia mengelus kepala temannya sambil tersenyum tipis. "Gw udah bilang, cerita ke gw. Jangan karena gw udah lulus, lu jadi ngerasa sendiri begini, Rim."

"Gak enak sama lu, tanggungan lu kan ngurus lima anak setan itu. Terus bapak lu juga harus diurus sama lu, gak mungkin dibiarin gitu aja."

"Ayah? Keknya lu jangan khawatirin ayah gw, beliau lagi mengkaji ulang ajaran silatnya ke adek bungsu gw." Rimba tersedak mendengar ucapan Frostfire, setau dia kalau adeknya Frostfire tuh yang dia kenal cuma Supra. Iya, karena bocah itu pernah kecelakaan sama si angin topan temennya Beliung. Tapi ini? Adeknya yang mana lagi?

"ADEK LU BANYAK, ANJENG!"

"ADEK GW YANG PIYIK, SETAN! EMANG YANG MANA LAGI COBA?"

"Si motor ndut-ndutan itu mana mungkin bisa silat? Kecelakaan waktu itu aja kagak bener beloknya, gimana pas dia silat? Ya allah..." Frostfire terdiam, dia menutup mulutnya dan baru tau jika Supra marah karena itu. Memang sih... Supra kan susah dinalar melebihi Sori, eh? Kenapa jadi gibah adeknya ya?

"Balik ke topik awal, lu bisa cerita sama gw. Jangan malu, kek sama siapa aja malunya." Rimba tersenyum tipis, dia mengangguk pelan lalu menatap temannya. Tangan kirinya menjitak kepala Frostfire, si empu meringis kesakitan lalu melotot ke arah Rimba yang kembali meminum minumannya dengan nikmat.

"Maksud?!"

"Tanda makasih gw, kek lu kagak pernah jitak gw aja."

"Gw? Jitak lu? Yang ada mau buang lu ke gunung merapi, lumayan jadi tumbal kalo minta duit." Detik berikutnya sudah dipastikan apa yang terjadi, Rimba dan Frostfire saling mengancam dengan pisau kue dan para pelayan memukul kepala keduanya dengan nampan besi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berubah

Taufan

Kembali