perhitungan suara
Keramaian di auditorium menjadi ciri khas untuk pemilihan ketua umum HMPS LSO dan BEM di PEMIRA tahun ini, banyak yang berbaris di depan panitia KPU, ada yang sudah mencoblos, dan ada juga yang sedang mempeributkan tinta ungu.
Jika bertanya mengapa tinta ungu diributkan, mungkin bisa ditebak siapa yang ribut dan siapa yang terpancing emosi oleh keributannya.
"NIH TANGAN LU SEKALIAN AJA JADI UNGU!"
"Kan sebagai orang yang udah coblos, ungunya harus keliatan."
"MATANE, KELINGKING LU MANA?! CEPET!" Supra menyengir, dia mencelupkan jari kelingking kirinya di tutup botol lalu mengelap tinta tersebut di kemeja Idah. Cewek itu menjambak rambut Supra, untung saja cowok mata merah keemasan itu berlari menuju teman-teman tongkrongan nya. Kalau ngumpul sama yang cewek-cewek, sudah dipastikan nyawa dia menjadi taruhan.
"Lu ngapain sih? Udah tau yang cewek gampang emosian sama lu, nyari perkara mulu."
"Sekum lu itu, Lin. Takut banget gw sama dia, gw gak ngapa-ngapain aja, dia sama Nisa udah emosian duluan."
"Emangnya kas udah lu bayar?" Supra hanya menyengir, tidak perlu menjawab pun Halilintar sudah menebak jika teman sekaligus kabidnya ini memang belum membayar kas. Emang cari mati, udah tau bentukan bendumnya seperti apa, malah ditunda-tunda.
"Dah pada nyoblos kah?" Sori yang baru saja datang bersama Gempa melihat kelingking ke-empat temannya, Taufan mengangkat jari kelingking kanannya. Seringai yang begitu menyebalkan bagi Gempa, untung saja Halilintar hanya mencubit kecil pinggang adeknya.
"Nanti malam pada langsung pulang apa gimana?"
"Gw gak bakalan pulang, kecuali tetiba dicari sama orang lain." Mata Supra melirik Sori, memandang bagaimana tanggapan kembarannya. Sori menghela napas dalam-dalam, sudah dia duga, ada saja gebrakan heboh dari Supra. "Yaudah, ntar pulang sama gw aja dah."
"Daripada kalian berdua mikirin pulangnya nanti gimana, mending lihatin siapa yang jadi ketua umum nanti." Gempa menarik ujung baju Sori, Taufan dan Beliung memberikan jalan kepada mereka berdua. Mata Halilintar tak lepas memandang Surpa, cowok mata merah gelap itu menghela napas panjang lalu mengusap wajahnya gusar, bukan pertama kali Supra mendapatkan ancaman, tapi kenapa anak ini selalu sering?
Jika diingat kembali saat mereka menjadi MABA, aura Supra memang seperti bocah siap senggol bacok. Tidak salah tiba-tiba saja menjadi buronan satu universitas. Orang sinting.
"Mingdep udah MUBES ya? Semangat deh kata gw, semoga LPJ kalian diterima."
"Gak usah diingetin? Gw muak banget, shibal!"
༶•┈┈⛧┈♛ 𝑵𝒈𝒂𝒃 𝑨𝒏𝒈𝒛𝒕 ♛┈⛧┈┈•༶
Taufan menguap lebar, dia menatap Supra yang bersama ke-dua buntutnya—Lyann dan Nisa—sedang meminum kopi sambil bermain HP. Cowok mata biru langit itu memakan kentang goreng dari piring Lyann. Cewek itu berdecak sebel, dia menatap datar Taufan lalu kembali scroll HP nya.
"Minta dikit, nanti dibayarin sama kemahasiswaan lu." Supra mengerutkan keningnya, dia bersiap membalas ucapan Taufan tetapi dibungkam dengan sosis bakar milik Nisa. "Bacot, jangan ngoceh." Ujarnya sembari menunggu yang lainnya datang.
Soal menunggu, sebenarnya mereka semua berkumpul menunggu para anggota IKM yang terbaru di warkop sekitar kampus. Dan soal IKM, jangan mengira Taufan tidak mengambil berkas anggota IKM saat PEMIRA diadakan. Justru dia mengambil sebelum orang-orang menariknya, anak hebat bukan?
Lalu, apakah Beliung alias sekbid kesayangannya tidak ikut naik jabatan? Sebenernya dia tidak akan dilepas begitu saja oleh Gamma, tebakkan Taufan seperti tidak meleset, dia bisa tau jika sejak awal Gamma mengincar anak tersayangnya.
Bersyukur Beliung di BEM, Taufan bisa di IKM. Mencar sesekali.
"Fan, telpon Satria atau Ilyas, lama betul mereka ke sini."
"Yee... Kenapa gak lu aja?" Supra menunjukkan HP nya, pantesan saja, cowok mata merah keemasan itu sedang telponan dengan Eshvina. Segera saja Taufan menelpon Ilyas, cowok mata biru langit itu mengingatkan kepada ketua umum IKM terbaru untuk segera berkumpul.
Setelah mengabari, dia menatap grup yang berisi dirinya beserta ke-dua kembarannya. Ah iya, jarang sekali berkomunikasi setelah PEMIRA yang begitu banyak sekali dramanya. Dari yang pemilihan gubernur BEM fakultas, pemilihan Presma BEM universitas, debat kandidat, persiapan MUBES. Semuanya menjadi sangat sibuk sehingga jarang bercakap-cakap, paling pentok mereka bertiga bahas pencoblosan ketua umum baru di Himpunan masing-masing.
Dan sekarang Taufan mulai khawatir, dia benar-benar kepikiran tentang Gempa dan Halilintar. Oke kalau Halilintar, cowok mata merah gelap itu pasti bilang dia bisa jaga diri sendiri—karena tampangnya udah mirip tukang labrak—, tapi untuk Gempa? Jangankan anak itu bergerak, diam saja sudah diincar oleh orang-orang universitas.
Sebelas duabelas dengan Supra, sama-sama mencari mati. Bedanya, Gempa bagian tim sukses.
"Muka lu kusut amat, ada apa?" Taufan terdiam, dia hanya menggelengkan kepalanya lalu meminum es tehnya. Napasnya keluar perlahan, tangan kanannya mengaduk-ngaduk sedotan es tehnya. "Gak papa, muka gw kapan gak kusut nya sih, kominfo?"
"Eii, situ juga kominfo, ya, kominfo. Lagian juga, muka lu demen kusut itu biasanya ngurus acara gede. Mikirin proker yang nanti ditanyain pas MUBES ya?" Nah kan, tebakan Lyann tidak salah. Tapi tidak bener juga. Lima puluh per lima puluh, bisa saja memikirkan hal tersebut, tapi juga memikirkan keadaan kembarannya.
"Ngomongin soal MUBES, kalian udah siap kah, PTI?" Ke-empat orang itu menoleh ke arah kanan, terlihat Nayla yang baru saja datang dan duduk tepat di depan Lyann. Ke-dua cewek itu tersenyum manis, mereka bersalaman dengan Nayla. Pun, Nayla bersalaman dengan dua cowok itu. Taufan terkekeh pelan, melihat raut wajah Supra yang kusut mengingat dirinya yang bersiap menjadi yang pertama bertanya banyak kepada kemahasiswaan HIMA PTI.
Awas bapak, kau tidak mau dibalas sama kembaran dan kawan sinting mu, kan?
"Yang lain mana?" Nayla menggelengkan kepala, dia mulai bercakap-cakap dengan ke-dua cewek itu, sedangkan Supra dan Taufan rebutan makanan. Hanya berselang lima belas menit, bangku mereka mulai ramai diisi oleh teman-teman anggota IKM yang lain.
Ilyas duduk di paling ujung, dia menatap teman-teman nya lalu menghela napas perlahan. "Ini langsung kita mulai aja, ya?"
༶•┈┈⛧┈♛ 𝑵𝒈𝒂𝒃 𝑨𝒏𝒈𝒛𝒕 ♛┈⛧┈┈•༶
"Lama amat pertemuan." Sori menguap lebar, dia menyenderkan kepalanya di pundak Gempa. Halilintar hanya mengangguk pelan lalu ikutan menyenderkan kepalanya di pundak Beliung, sedangkan kedua cowok yang menjadi bantalan mereka hanya menghela napas dalam-dalam.
Emperan depan auditorium sangat ramai, apalagi depan auditorium. Karena saat ini perhitungan suara ketua umum HMPS LSO periode 2025/2026, sebenarnya mereka berempat bisa saja bodo amat, tapi udah janjian sama Supra dan Taufan untuk melihat hasil siapa saja yang menjadi ketua umum.
Dan sekarang masuk perhitungan suara bagian HIMA PK alias pendidikan kimia, masih lama untuk POR dan PTI. Jadi, mereka bisa bengong sejenak sembari memakan sarapan malam.
"Bentar lagi POR, yang mau jadi saksinya siapa?" Beliung melirik ke arah sebrang, dia berdecih melihat wajah tengil Gamma yang menatapnya dengan senyuman lebar khasnya. Tidak, dia tidak akan mau menjadi saksi untuk suara ketum POR yang terbaru.
Sayangnya, kedatangan Taufan dan Supra membuat Beliung dan Taufan ditarik menjadi saksi sah perhitungan suara. Yasudah, terlanjur ditarik oleh ketum mereka, daripada diam tidak tau harus ngapain.
"Lu siapa? Nova apa Aze?"
"Bang bang, mending tukeran aja. Biar bang Iyung di Aze terus bang Upan di gw." Nova dan Blaze saling lempar senyum ke arah ke-dua cowok itu, Beliung memutar matanya dan Taufan hanya terkekeh pelan. Mereka berempat akhirnya duduk di bangku yang telah disediakan. Taufan menghela napas panjang, dia melihat isi kotak kertas coblos berserakan di meja.
Perhitungan suara dimulai, baru sepuluh kertas yang dibaca, Taufan merasa sesuatu yang aneh. Beliung juga merasakannya, mereka berdua saling pandang lalu menatap papan tulis yang berisikan suara terbanyak. Blaze dan Nova? Tidak ada rasa curiga, hanya menatap perhitungan suara mereka di papan tulis.
"Hasilnya seri!" Nova dan Blaze saling pandang, mereka berdua menatap Taufan dan Beliung yang menatap detail papan tulis. Ingin sekali Nova bertanya kepada kakak tingkatnya itu, tetapi keributan dari salah satu saksi membuatnya emosi.
"Lah?! Gak bisa gitu! Pada main curang ya makanya seri?!"
"Mohon maaf, tapi kita sudah menghitungnya bersama-sama dan hasilnya memang seri." Kericuhan antara HIMA POR tahun lalu dengan panitia berselang cukup lama, bisa dihitung satu setengah jam. Ada yang minta Blaze mengalah tapi ada juga yang minta Nova mengalah. Taufan memijat keningnya, dia mengambil trash bag lalu meraba-raba isinya.
Cowok mata biru langit itu menatap mata biru terang milik Beliung, mereka berdua mengangguk bersama lalu Taufan mengeluarkan sisa isi trash bag.
"Weii? Ini apa? Kok sisa satu?" Taufan mengangkat satu kertas suara yang masih terlipat, baru saja dia membuka kertas suara tersebut tiba-tiba direbut oleh salah satu kating. Semuanya berteriak heboh, termasuk Taufan dan Beliung. Mereka berdua berdebat dengan kating tersebut, meminta kertas suara dikembalikan.
"WOI, BALIKIN!"
"NGALAH AJA NGALAH! PALING YANG MENANG JUGA PASLON SATU!"
"ADIL DONG! BUKAN BERARTI DIREBUT! BALIKIN SINI!"
"HEH! LU BERANI NANTANG? WINDARA, ARTAREJA, BERANI LU SAMA KITA?"
"LAH? BUAT APA TAKUT SAMA LU PADA? SINI ADU LAH KITA." Beliung memegang tubuh Taufan, menahan kabidnya supaya tidak menimbulkan keributan lebih jauh. Cowok rambut biru dongker itu menyuruh Taufan mundur, dia menggenggam tangan kating itu lalu merebut paksa kertas suara tersebut.
Blaze dan Nova hanya menonton, mereka berdua sama-sama bingung harus ngapain. Yang nyalon kan mereka berdua, kalo seri kenapa gak suit aja? Itu pikir mereka.
"Suit gak sih?"
"Ngawur, lu kira ini kerkom? Mana bisa suit buat pilihan ketum."
"Aelah, beda satu suara doang juga antara kita yang naik ini—." Keduanya terdiam melihat Beliung memegang pipinya, ah sial, ini ada adegan tonjok? Yang bener aja...
"Berani juga... Padahal cuma satu kertas suara, tapi kek se enggak mau itu salah satu dari mereka terpilih." Beliung mengusap ujung bibir, tangan kanannya meremas lalu menonjok wajah kating tersebut. Mereka berdua saling adu tonjok, Blaze memukul pundak Nova kencang, menyuruh cowok rambut merah oranye itu memisahkan mereka berdua.
"Eh... Kak... Maaf, tolong jangan ribut—."
"DIAM! INI HAK SUARA, DIREBUT BEGINI SURUH JANGAN RIBUT?" Blaze menutup mulut Taufan, dia menjitak kepala kakaknya dan Taufan hanya mengaduh kesakitan. Nova menatap malas cewek yang menegur, dia menggeleng pelan lalu menarik kerah baju Beliung dan ikut menonjok wajah Beliung.
Awalnya Beliung ingin marah, tetapi setelah melihat Nova merebut kertas suara yang sangat santai membuatnya mingkem.
"Udah ributnya? Itu yang habis adu jotos, obatin dulu. Yang gantiin bang Liung jadi saksi bisa maju ke depan—."
"GAK! GW MASIH BISA—aw... Sakit pulkanik..." Nova berdecak sebel, dia memberikan kertas suara itu ke panitia dan panitia KPU membuka kertas suara tersebut. Dia membalikkan kertas tersebut ke hadapan para calon ketum dan saksi serta para penonton.
"VERONA BLAZE SUWANDA, SUARA SAH!" Blaze duduk lemas, dia memijat kepalanya merasa sesuatu menghantam di atas kepala. Nova berteriak kegirangan, Taufan membuka mulutnya lebar dan Beliung hanya terdiam mencerna suara sah yang didapatkan.
"Another day, another la ilaha ilallah...."
"Ahay! Selamat ketum ku, akhirnya ente menjabat juga!" Kating POR memberikan selamat dan semangat untuk Blaze. Cowok mata merah menyala itu tersenyum kaku, menyalimi mereka semua.
Disisi lain, Halilintar dan Supra menghela napas panjang, mereka berdua menatap Voltra dan Arya yang bermain catur disebelah mereka berdua. Supra memainkan rambut Voltra, membuat si empu berdecak sebel.
"Apa? Mau ngapain?" Supra menunjuk ke arah depan auditorium, menyuruh Voltra dan Arya menjadi saksi penghitungan suara. Voltra hanya menghela napas dalam-dalam, dia mengangguk lalu mengajak Arya untuk ke depan bersama dua calon ketum HIMA PTI.
Supra dan Halilintar tidak diam saja, mereka berdua mengajak teman-teman satu Himpunan untuk menyimak penghitungan suara. Sekarang, mereka semua berada di sebelah kiri, berdiri di depan tali yang sudah dibatasi.
Penghitungan suara PTI dimulai, paslon satu dan dua masih seimbang. Ketika memasuki pertengahan, Supra menyipitkan matanya, menatap suara terbanyak. "Ini konsepnya kek tahun lalu?"
"Yang mana?" Tanya Lyann sembari meminum kopinya. Halilintar menghela napas panjang, dia ikut menyipitkan matanya dan mengangguk pelan. "Konsepnya kek lu waktu itu, Sup."
"Tapi untung, njir. Lu sama Fang waktu itu berapa, Sup?"
"Beda... Satu suara sih? Kalo sama Arya, dia jauh banget."
"Seinget gw nih ya, waktu itu si Fang dapat tujuh belas suara, terus si Supra dapat enam belas suara. Cuma si Arya yang dapat delapan suara, tapi dia jadi kabid organ." Halilintar memberikan foto penghitungan suara tahun lalu, Lyann dan Idah menatap foto tersebut lalu mengangguk paham.
"Wajar sih kalo Supra sama Fang beda satu, tapi kenapa gak si Supra aja yang jadi bidornya?"
"Eii, ente mau saya evaluasi terus kah? Kemahasiswaan aja udah bikin lu nahan emosi, gimana gw jadi bidor? Evaluasi terus tiap minggu." Lyann memukul kencang pundak Supra, si empu meringis kesakitan sedangkan yang lain tertawa bersama melihat keributan kecil dari mereka berdua. Yaya menepuk pelan pundak Lyann, menenangkan kominfo nya untuk tidak emosi kepada kemahasiswaan nya.
"Tau kan kenapa gw sama Arya? Kalo sama Supra, bukannya bisa dikendaliin, malah adu argumen tiap evaluasi sama kajian."
"Alhamdulillah ya, untung Halilintar yang jinakin. Coba kalo Lyann atau Idah, paling nyawa Supra diujung tanduk." Supra berdecih, dia kembali menatap penghitungan suara. Paslon satu alias Raffi menang, sedangkan paslon dua alias Kamil tidak. Mereka berdua saling berjabat tangan, lalu menghampiri mereka semua sambil bertepuk tangan.
"Aman aman, menang kalah itu biasa, tapi jabatan harus ditempuh sepanjang masa."
"Motivasi yang bagus, bang. Sekarang kita ngapain nih? Gelud juga kek sebelah?" Fang yang berada di sebelah Nisa menatap Arya, Arya hanya mengangguk dan menyuruh mereka untuk kumpul sebentar di depan fakultas Ilmu Budaya bersama para angmud.
"Duduk dulu semuanya, kita mau bahas buat MUBES." Mereka semua duduk melingkar, yang di tengah Supra, Fang dan Arya. Pembahasan mengenai MUBES dimulai, Arya sudah berpesan kepada para angmud yang hanya beranggotakan delapan orang itu untuk bertanya mengenai LPJ yang mereka buat.
Tak lupa mereka bertiga memberi selamat serta semangat kepada Raffi, lalu memberi masukan kepada Kamil supaya tidak berkecil hati. Tapi menurut Halilintar, sepertinya akan ada sesuatu yang terjadi setelah ini.
"Btw bang Sup, kok pake serba item? Mau maling?" Supra mengacungkan kepalan tangannya, dia mengacak-acak rambutnya lalu menyenggol Halilintar untuk menyuruh cowok nata merah gelap itu yang berbicara.
"Ck, bentar." Halilintar menghela napas panjang, dia membuka mulutnya dan menceritakan tentang keberadaan Supra saat ini. Setelah menjadi panitia KPPS dan memeriksa hasil penghitungan suara Persma BEM Universitas, paslon dua dari fakultas mereka yakni FKIP dan FKM (Fakultas Kesehatan Masyarakat) mendapatkan suara terbanyak. Banyak yang tidak terima, terlebih paslon lain dan berakhir Supra bersama timses yang lain menjadi buronan fakultas lain.
"Makanya kenapa kita demo waktu itu karena suara kita malah dioper ke paslon lain, dan akhirnya rektorat turun tangan ngurus PEMIRA."
"Lu pada masih bisa ketemu gw sampai kita MUBES, habis itu gw ghaib dari keberadaan sekitar sampai PKKMB nanti." Yang lain hanya menggelengkan kepala, sudah capek dengan tingkah Supra yang diluar ekspektasi. Mau berharap dia anteng pun tidak semudah itu.
Para angmud mengangguk, mereka semua berfoto bersama untuk kenang-kenangan selama satu periode bersama angkatan sekarang lalu bubar menuju tempat masing-masing. Supra menunggu Taufan, seharusnya mereka berdua kumpul kembali bersama para anggota IKM. Tapi... Urusan kumpul keknya harus disingkirkan dulu.
"CUK CUK, BALIK CUK!"
"HAH? KENAPA—CAK!! PELAN-PELAN NARIK GW!!!" Sori menarik Supra menuju parkiran motor, sedangkan Halilintar dan Taufan menggeret Gempa menuju parkiran mobil. Tersisa hanya Beliung, dia menatap kepergian ke-lima teman setannya dan menatap Blaze yang masih bermain roblox bersama Ice dan Blizzard.
"Udah lah, mati gw."
Komentar
Posting Komentar