ilmu berbaik
Pulang? Kalimat yang akhir-akhir ini jarang Sori dengar, mana sempet dia denger kalimat itu, palingan juga sibuk mencari anggota BEM supaya formasi lengkap.
Sori memijat keningnya, dia duduk di ujung ruang lembaga. Tangannya menarik selimut, pikirannya berkecamuk. Entah bagaimana dia harus memilih, kalau pulang, takut dikira gak antusias menjadi Gubernur BEM fakultas sendiri. Tapi kalo disini terus, dia juga butuh sandaran seseorang.
"Mumet..." Matanya terpejam, dia sudah tidak kuat menahan ngantuk. Yang Sori dengar, hanya suara AC, jangkrik, dan sunyi di lembaga.
✩.・*:。≻───── ⋆𝑵𝒈𝒂𝒍𝒆𝒏𝒈𝒌𝒂⋆ ─────.•*:。✩
Suara ketukan pintu terdengar berisik, Frostfire yang baru saja bangun tidur hanya bisa bengong lalu menatap jam. Jam lima subuh, dia mengacak-acak rambutnya lalu turun dari ranjang dan segera keluar dari kamar untuk memeriksa siapa yang mengetuk pintu rumah.
"Ya sebentar—Cak? Mata lu kenapa hitam banget?" Sori menatap Frostfire sejenak, dia ingin sekali menyapa mamasnya itu. Tapi tubuh berkata lain, cowok mata mint itu ambruk, untung saja Frostfire menggendongnya dan segera membawa adeknya ke kamarnya.
Tepat Frostfire berdiri di depan pintu kamar Sori, terbuka pintu kamar adeknya dan terlihat Supra yang baru saja bangun tidur sambil berdiri di depan pintu. Awalnya Supra tidak ngeh, saat membuka matanya sedikit, dia membanting pintu kamar Sori dan menyuruh sang kakak untuk segera merebahkan tubuh kembarannya.
"MAS, WICAK MIMISAN!"
"SAN, JANGAN LARI-LARI, TISSUE ADA DI DAPUR!" Supra sudah tidak peduli, mau dia jatuh dari tangga pun, asal Sori tidak kenapa-kenapa. Jangan sampai kembarannya sakit. Jangan sampai!
✩.・*:。≻───── ⋆𝑵𝒈𝒂𝒍𝒆𝒏𝒈𝒌𝒂⋆ ─────.•*:。✩
Glacier menghela napas panjang, dia meremas handuk kecil lalu menaruh di kening Sori. Mata biru kecoklatannya melirik Supra, sedari tadi adeknya itu hanya terdiam menatap wajah Sori.
Glacier tau, Sori tipe yang susah dibilangin, jarang pulang ke rumah, bahkan Supra selalu ke kampus hanya menyuruh Sori pulang ke rumah supaya bergantian. Dia hanya nurut kalau sama Frostfire dan Gentar, kalau kata Sopan, se sintingnya Gentar, ada bijaknya anak itu.
"Makan dulu, San. Lu belum makan lima hari, ini tulang keliatan semua. Pipi juga tirus, jelek."
"Lah, Wicak juga. Dia lebih parah, gak makan kali ya di warung sebelah kampus. Padahal buka terus, gw ke sana sering bawain makanan, masa dia gak makan?"
"Iya adek, tapi kan sekarang kembaran lu lagi sakit, nanti lu bisa nemenin dia habis makan. Oke?" Supra menghela napas kasar, dia berdiri lalu berjalan keluar menuju dapur. Glacier menggelengkan kepalanya, dia mangusap wajah Sori yang tertidur lelap dengan handuk kecil.
"Hhh... Bang... Mas..." Glacier memegang tangan Sori, dia terus menatap mata Sori yang terbuka perlahan. Cowok mata mint itu melirik ke arah sebelah kiri, terlihat Glacier yang menghela napas panjang lalu mengusap kepalanya perlahan.
"Lu demam, sekarang istirahat dulu dan jangan banyak gerak. Gw ambilin makan dulu." Tangan mungil itu menggenggam pergelangan tangan Glacier, dia menggelengkan kepalanya lalu menarik kakak ke-dua untuk menemaninya di kamar. Glacier menghela napas panjang, baiklah, saatnya menuruti keinginan adeknya itu. Sekalian ngehindar dari kerangka Skripsi.
"Maaf bang, gw baru pulang..."
"Iya gak papa, paling lu kena amuk aja dari San. Lagian kan udah dikasih tau, pulang dulu kalo masih bisa balik lagi. Lu disana juga belum tentu bisa tenang, Cak."
"Gw gak enakan... Sama orang-orang..." Glacier memijat keningnya, dia mengusap kepala Sori dengan lembut. Wajahnya masih mengekspresikan kekhawatiran, mata biru kecoklatan itu bertatapan dengan mata mint adeknya. Sori menelan ludahnya, napasnya yang hangat menjadi jawaban yang Glacier harapkan.
Keras kepala, tidak enak, dan... Bingung.
"Kalo gak kuat, mending ngundurin diri sebelum jabat. Lu gak kuat—."
"Gw kuat, bang. Gw kuat."
"Kuat? Bener?" Sori mengangguk kencang, dia memegang tangan Glacier lalu memohon untuk tidak menyuruhnya mengundurkan diri dari BEM. Sebenarnya Glacier sendiri tau Sori itu kuat-kuat saja di organisasi, tapi dia harus mengatur waktunya. "Gw izinin, tapi gw yang atur jadwal lu."
"Kok gitu?! Wicak udah gede, bang!!"
"Gak gak, lu belum bisa atur waktu lu sendiri. Waktu HIMA aja, lu nangis gegara nilai lu turun. Ini lanjut ke BEM, bisa fokus gak kuliah lu nanti?" Sori merengek kecil, dia tidak ingin menyusahkan kakaknya itu. Sebenarnya Glacier mau-mau saja mengatur jadwal adek-adek dan kakaknya, asalkan menjauh dari yang namanya skripsi.
Dah masuk semester tujuh, nyawa diambang batas.
Kamar mulai senyap, Sori dan Glacier saling pandang. Pikiran mereka beradu, seakan ucapan yang akan mereka lontarkan saling membantah. Sori memejamkan matanya, berakhir mengiyakan ucapan sang kakak. Glacier terkekeh kecil, dia mengusap rambut cowok mata mint itu lalu keluar dari kamar.
Sori menghela napas panjang, jujur, apa yang dibilang Glacier itu benar? Dia gak kuat? Selama ini, Sori menganggap dirinya kuat menghadapi semuanya. Mungkin hanya banyak pikiran yang semakin hari semakin tidak membaik, tapi dia selalu menganggapnya hanya pikiran buruk yang lewat.
Lucu, dia menganggapnya selalu bisa. Tapi dia sendiri lupa, bagaimana awalnya keras kepala dan rasa tidak enak itu muncul.
"Kamu gak selalu anggap semua yang disini tanggung jawab yang harus kamu selesain sendiri, aku sama yang lain bakalan bantu. Tapi tolong, sekarang kamu istirahat dulu."
"Istirahat? Biasanya juga gw istirahat terus..." Cowok mata mint itu memegang keningnya, panas dari tubuhnya seakan mencapai batas. Pikirannya berkecamuk, seolah semua suara berbenturan di kedua telinganya.
"Baru bangun? Gimana mimpinya?" Sori melirik tajam ke arah kanan, terlihat Supra yang membawa mangkok berisi bubur ayam dan teh hangat. Cowok mata merah keemasan itu menatap Sori lalu membantu kembarannya untuk duduk. Dia memegang mangkok bubur, tangannya menyuapi makanan ke Sori.
Hanya ada keheningan, mereka berdua sama-sama terdiam tenggelam dengan pikirannya masing-masing. Sebelum Sori membuka pembicaraan, Supra membuka pembicaraan terlebih dahulu. "Udah gak ke kampus lagi? Udah gak betah di lembaga?"
"Lu nyuruh gw pulang, ntar di kampus mulu dibilangnya gak punya rumah."
"Lah, tuh tau. Lalu? Ngapain pulang? Kalo cuma disuruh sama gw, gak guna juga." Sori mengusap wajahnya, dia memegang tangan Supra namun dilepas paksa oleh si pemilik mata merah keemasan itu. Supra berdiri, membawa mangkok lalu menyuruh kembarannya itu untuk meminum obat dan beristirahat.
Hanya percakapan singkat itu, Sori mulai paham. Supra marah besar, nada bicaranya seperti menunjukkan tanda-tanda ketidakpedulian kehadirannya. Cowok mata mint itu terkekeh pelan, kedua tangannya mengacak-acak rambutnya. Otaknya mulai memikirkan sesuatu, bagaimana caranya mereka berdua berbicara seperti anak setan? Tidak mungkin keadaan seperti ini, Sori melontarkan kata-kata badut?
"Hhh... Pikirin kondisi lu dulu, baru baikan sama Cahya. Tapi apa yang mau baikannya, anjir?" Sori meminum obatnya, dia kembali merebahkan tubuhnya di ranjangnya. Matanya memejam, efek obat mulai terasa.
Sebelum pandangannya menggelap, dia melihat bayangan yang menghampirinya dan mengusap kepalanya. Suara beratnya seakan menjadi alunan melodi yang menenangkan pikirannya.
"Cepat sembuh, biar kamu sama San ribut terus."
"Hmm..." Dengkuran halus terdengar, pria setengah baya itu mengusap kepala anak ke-empatnya lalu keluar dari kamar Sori. Beliau melihat Supra yang hanya menatap bingung sang ayah, ayah hanya terkekeh pelan lalu menepuk-nepuk kepala Supra.
"Jangan cemberut, kalian kan kembar."
"Ah ribet, bandelnya melebihi San."
"Boong itu, yah. Biasanya juga mereka berdua perang bantal, lagi mode judes aja itu." Ucapan Glacier dari dapur membuat Supra tersinggung, dia ingin berteriak namun ditahan oleh sang ayah. Beliau mengusap punggung anak ke-tiganya, tersenyum tenang membuat si pemilik mata merah keemasan itu terdiam dan menatap ke sembarang arah.
"Marahmu kayak ayah..." Ayah hanya menggelengkan kepalanya, beliau pergi menuju ruang tengah untuk menonton keributan antara Gentar dan Sopan. Sedangkan Supra hanya terdiam, mencerna apa maksud dari ucapan ayahnya. Marahnya seperti ayah? Saling sindir gitu?
✩.・*:。≻───── ⋆ 𝑵𝒈𝒂𝒍𝒆𝒏𝒈𝒌𝒂 ⋆ ─────.•*:。✩
Hanya dua hari, demam Sori menurun, dia sudah bisa beraktivitas kembali dan pergi menuju kampus lagi. Iya... Lagi, jeda istirahat kalau sakit.
"Dah sembuh, gub? Gw kira bakalan di rumah semingguan." Sori menggelengkan kepalanya, tidak, dia belum bisa menenangkan dirinya kalau kandidat BEM belum lengkap. Segera saja dia duduk di sebelah Arden dan mengobrol bersama mengenai formasi lengkap, ditengah obrolan matanya tak sengaja melirik ke arah sebelah auditorium.
Supra bersama Ilyas berjalan menuju lembaga, Ilyas menyapa Sori dan Arden, tetapi Supra hanya memberikan senyum tipis ke Arden dan langsung masuk ke dalam lembaga. Sori yang tadinya ingin menyapa kembarannya dengan riang hanya bisa terdiam, dia hanya menatap punggung kembarannya di dalam lembaga.
Seperti asing, hanya karena dia jarang pulang?
"YOO WASSAP GUBERNUR KUU!!!" Gempa dan Halilintar datang bersama, mereka berdua mengepalkan tangan dan memberi salam kepada Arden dan Sori. Arden izin pergi ke dalam lembaga, Sori hanya mengangguk lalu cowok itu pergi dan meninggalkan ketiga cowok itu.
Gempa menatap Sori lalu menyenggol lengan Halilintar. Cowok mata merah gelap itu awalnya bingung, setelah kembarannya itu mengirimkan chat, dia mengangguk lalu ke dalam lembaga. Si pemilik mata kecoklatan itu duduk disebelah Sori, dia memberikan kopi honey americano miliknya supaya teman seperjuangannya itu tenang.
"Banyak pikiran ya, pak? Tumben banget di luar, biasanya di dalam terus ngoceh gak jelas ke bapak wakil IKM." Sori memukul pundak Gempa, dia meminum kopi milik Gempa lalu terbatuk setelah mencicipi kopi itu. "PAITTT! Rasa apa ini?!"
"Honey americano, enak kan? Itu punya kak Upan aslinya." Sori menghela napas panjang, dia memijat kepalanya lalu meminum air mineralnya setengah botol. Cowok mata mint itu menatap tajam Gempa, dia memeluk erat tubuh Gempa sambil merengek supaya Supra melihatnya dan ngamuk.
"Gw capek, gw mau di rumah! Gw capek banget anjir di sini."
"Yaudah sana pulang, ku buang kamu ke kali belakang asrama, mau?"
"Jahat! Nanti siapa yang ngurus kalian? Wagub?"
"Nah, bapak gak ada, wagub ada. Semoga wagub kita cewek, biar kalian dikira orang tua kita." Sori memukul kepala Gempa, dia melirik ke arah belakang, Supra hanya menatap Sori lalu kembali mengobrol bersama Halilintar. Cowok mata mint itu mengacak-acak rambutnya, kaki mungilnya menendang punggung Gempa lalu pergi keluar dari area FKIP.
Gempa mengusap punggungnya, dia menatap Supra yang baru saja keluar dari lembaga. Cowok mata merah keemasan itu mengambil kopi yang dibawa Gempa lalu berjalan keluar dari area FKIP. Si pemilik mata kecoklatan itu menggelengkan kepalanya, merasa dejavu dengan kelakuan kedua kembar tengah Ngalengka itu.
"Mirip kayak kak Hali sama kak Upan."
✩.・*:。≻───── ⋆ 𝑵𝒈𝒂𝒍𝒆𝒏𝒈𝒌𝒂 ⋆ ─────.•*:。✩
Gentar dan Sopan menatap Sori kasihan, mereka berdua saling lempar pandangan lalu kembali fokus pada kakak mereka. Sori memeluk guling milik Gentar lalu memukul kencang guling itu, matanya menatap tajam kedua adeknya lalu berteriak keras membuat Sopan menyumpal mulut Sori dengan kaos kaki miliknya.
"Berisik ih, ntar dikira habis diapa-apain." Sori membuang kaos kaki itu, dia mencubit pinggang Gentar dan Sopan lalu memeluk erat guling milik Gentar. "Jahat lu semua! Minimal bantuin gw kek! Gimana gitu caranya baikan sama Cahya."
"Ya... Kalian berdua kan sering berantem, biasanya ngapain kalo bujuk sesama kembaran?"
"Cahya doang yang tau kalo gw ngambek gimana baikannya. Ini si Cahya yang ngambek, susah bujuk tuh anak." Sori menopang dagunya, kepalanya sudah mumet memikirkan bagaimana cara berbaikan dengan Supra. Gentar dan Sopan hanya bisa menghela napas panjang, mereka berdua juga sama saja, tidak membantu untuk menyelesaikan masalah.
"Le, ayo makan— Wicak? Tumben sudah pulang?" Ayah membuka pintu kamar Gentar, mata teduhnya menatap ketiga anaknya yang sedang berunding di kasur Gentar. Lebih benar hanya Sori yang di kasur Gentar, duo bungsu Ngalengka mana berani ngusir Sori, yang ada mulut cabenya Sori keluar semua.
"Hah? Bang Acil udah masak?" Tanya Gentar yang diangguk oleh ayah, segera saja kedua bungsu itu pergi dari kamar meninggalkan Sori dan ayah. Sori menggaruk tengkuknya, merasa canggung dengan ayah. Jangankan mengobrol, Sori saja jarang menyapa ayahnya karena memilih menghindar.
Merepotkan, hubungan mereka begitu merepotkan.
"Ayo makan, kamu baru sembuh kan?" Sori menggelengkan kepalanya, dia sedang tidak napsu makan. Jujur saja, dia masih memikirkan bagaimana caranya untuk berbaikan dengan kembarannya.
Ayah hanya menghela napas panjang, tangan beliau mengusap kepala Sori lalu tersenyum manis membuat Sori menatapnya dengan bingung. "Masih marahan sama San?"
"Cahya duluan yang marah."
"Tapi dia marah karena siapa?" Ayah hanya terkekeh kecil, sedangkan Sori tersenyum masam. Oke, Sori akui, Supra marah karena dirinya. Tapi akhirnya dia pulang, kan? Supra sampai sekarang masih marah? Harusnya udahan.
"Kalian berdua kalau marahan terus, kasihan sama mamas."
"Kenapa kasihan sama mamas? Kan harusnya ayah kasihan sama Wicak." Beliau terdiam mendengar perkataan anak ke-empatnya, kepalanya menggeleng pelan lalu mengeluarkan tiket konser. Sori yang awalnya menatap lampu kamar Gentar seketika melotot melihat tiket konser. Sebentar... Ayah mau nonton konser?
"Kalau masih marahan, ayah bingung mau ngajak siapa ke konser."
"Konser apa, yah? Tumben banget mau nonton konser musik?"
"Oh, dibeliin sama Riwanda. Katanya mau ngajakin ayah, tapi ayah udah tua begini disuruh nonton konser anak muda." Sori mengambil salah satu tiket yang dipegang ayah, dia melihat deretan artis lalu menatap ayah dengan binar. "Yah, mau tiketnya."
"Boleh, tapi satunya lagi sama siapa? Mamasmu sama abangmu gak bisa, Angga sama Raden sibuk."
"Sama ayah aja—."
"Ayah mau ngurus sesuatu di Jogja, lu aja pergi sama San." Glacier mendekati ayah dan Sori, dia menarik pelan ujung baju ayah. Menyuruh pria setengah baya itu makan, ayah hanya mengangguk dan pergi menuju ke dapur sambil menepuk pelan kepala Sori. Setelah kepergian ayah, Glacier menatap Sori, dia tersenyum miring membuat si bungsu pertama itu merinding ketakutan.
"Apa ya? Lu senyum begitu kek skripsinya kelar aja."
"Eh, justru gw mau bilang, skripsi gw di acc sama dospem gw. Sisa tiga bab lagi."
"Emang yang baru di acc berapa bab?" Glacier menunjukkan dua jarinya sebagai tanda jawabannya, Sori memutar matanya lalu mengangkat tiketnya menandakan dia membalikkan tiket tersebut ke Glacier. Sayangnya Glacier menggelengkan kepalanya, dia langsung lari keluar dari kamar Gentar membuat Sori berdecih.
Sialan, ini dia disuruh nonton konser sama Supra? Bisa sih buat baikan... Tapi kalo Supra masih marah? Astaga, kepala Sori ingin pecah.
"Argghh, mau jadi serigala aja! Biar bisa gigit dagu si tiang listrik itu!"
Komentar
Posting Komentar