selamat hari ayah (1)

Taufan mengamati Halilintar yang sedang menonton YouTube sambil memakan mie goreng, cowok mata biru langit itu menggeleng pelan, dia keluar dari lembaga lalu berlari kecil menuju depan FKIP. Matanya menatap Gempa yang duduk di depan fakultas sambil menatap HP nya, segera saja Taufan menghampiri Gempa lalu menepuk pundak adeknya.

"Gas gak?" Tanya Taufan yang di angguk oleh Gempa. Segera saja mereka berdua lari menuju parkiran, Taufan menyalakan motor miliknya, dia menyuruh Gempa yang naik di belakang. Cowok mata kecoklatan itu mengerutkan kening, dia naik di jok belakang lalu memegang erat kemeja milik Taufan. 

"Jangan ngebut!"

"Kagak elah, kek gak tau kembaran lu aja."

"Ya makanya aku tau, kamu tuh—WINDARA TAUFAN SINTING!"

╞═════π– π‘Ίπ’–π’˜π’‚π’π’…π’‚π– ═════╡

Ice menatap Blaze, dia mengerutkan kening ketika melihat editan milik si merah menyala itu. Mulutnya terus beristighfar sedangkan Blaze tersenyum bahagia sambil memberikan kata-kata penyemangat untuk sang kakak pertama.

"Waras dikit bisa gak?"

"Ini waras, Ceu. Ya kali gak waras, secakep ini editan gw."

"Tapi kek editan emak-emak Facebook, cuk!" Blaze menggelengkan kepalanya, sejak kapan editan dia jadi sejelek itu? Ketua begini masih sering latihan ngedit, jangan pernah mengira dia sudah pensiun dari aplikasi editan sialan itu.

"Jangan pesimis dulu, ini udah cakep ya." Ice menghela napas panjang, dia berharap Taufan tidak komplain tentang editan kembarannya.

╞═════π– π‘Ίπ’–π’˜π’‚π’π’…π’‚π– ═════╡

Halilintar menghela napas panjang, dia merapihkan laptop dan bekalnya ke dalam tas lalu izin untuk pulang terlebih dahulu. Sori dan Supra yang sedang menonton film di tablet milik Sori hanya mengangguk, mereka hanya mengatakan hati-hati di jalan.

Cowok mata merah gelap itu terkekeh pelan, dia merasa gemes dengan dua orang kembar tengah Ngalengka. Semakin hari, semakin dekat mereka berdua. Berbeda dengan dirinya yang memisahkan diri dari Gempa dan Taufan, apa karena Halilintar sudah tua?

Halilintar keluar dari lembaga dan berjalan menuju parkiran, dia menghampiri motornya dan menaikinya. Cowok mata merah gelap itu menghela napas kembali, dia menyalakan motornya dan memutar gas untuk meninggalkan kampus.

Motornya melaju membelah jalanan, matanya terus mengamati toko bunga. Melihat bunga matahari di pinggir jalan, segera saja dia menepikan motornya. Halilintar turun dari motor, langkah kakinya mendekati toko bunga lalu menelusuri bunga yang cocok untuk orang tersayang nya.

"Hallo kakak, kayaknya lagi nyari bunga, ya?" Halilintar terdiam, dia menatap meja kasir, tangannya menggaruk tengkuknya sedangkan orang yang menyapa dirinya hanya terkekeh kecil lalu mengayunkan tangannya menyuruh cowok mata merah gelap itu mendekat.

"Kakak mau cari bunga apa?"

"Aahh... Bunga yang ada kaitannya sama kehidupan yang baru?" Orang itu ber-oh ria, dia menyuruh Halilintar untuk menunggunya sejenak. Halilintar mengangguk, dia duduk di bangku pojok toko. Cowok mata merah gelap itu membuka HP nya, dia mengerutkan kening melihat grup keluarga yang belum ada tanda-tanda bunyi ricuh seperti biasanya dia dengar. Karena tadi dikeluarin dari grup dan Ice dengan watadosnya mengetik 'Yaudah sih? Nanti juga di join-in lagi sama abang tercintah.'

Yaudahlah, sakarepmu, Ceu.

"Kakak!! Ini bunganya!" Halilintar menatap buket bunga yang dibawa oleh orang itu, dia terkekeh pelan lalu berdiri dan mengambil bunga itu. "Bunga apa aja ini?"

"Lily putih dan tulip putih, yang berkaitan dengan kehidupan yang baru." Halilintar mengangguk, dia membayar bunga itu lalu kembali menancap gas menuju tempat yang dia tuju. Setelah menempuh perjalanan yang memakan waktu satu setengah jam, akhirnya sampai juga di pemakaman umum.

Kakinya melangkah mendekati makam yang selalu dia hadiri setiap waktu, dia berlutut di depan makam tersebut lalu menaruh bunga yang sudah dia beli di atas gundukan tanah. Senyumannya terlihat, tetapi air matanya tak bisa tertahan. Helaan napas keluar perlahan, Halilintar memegang nisan yang terlihat nama sang ayah.

"Ayah... Xavier datang lagi..."

"Maaf yang sering ke sini malah Xavier, harusnya ngajak yang lain tapi Xavier ditinggal tadi pas makan mie." Cowok mata merah gelap itu mengeluarkan botol air minum miliknya dari tas lalu menyiram gundukan tanah tersebut bersama dengan bunga yang dia beli. "Selamat hari ayah, makasih buat ayah yang sudah mengurus kami sampai akhir hayat. Maafin Xavier karena masih gagal jadi sulung yang baik, ayah di sana marah ya? Liat Xavier nangis gini, harusnya tetap kuat di depan ayah."

"Yah... Xavier iri sama adek-adek yang lain, kalo mereka kenapa-kenapa pasti Xavier paling depan ngurus dan jadi pundak mereka. Tapi kalo Xavier kenapa-kenapa, yang jadi pundaknya Xavier siapa?" Halilintar mengusap air matanya, tak mau dilihat orang ayahnya jika si sulung menangis. Kalau ayahnya masih hidup, pasti beliau mengejek anak pertamanya dan membuat Halilintar marah. Sayangnya, siapa yang bisa seperti itu selain adek-adeknya?

"Maafin Xavier, jadi cerita begini. Xavier pulang dulu, selamat tinggal ayah." Halilintar memasukkan kembali botol minum ke dalam tas lalu pergi meninggalkan makam sang ayah. Dia berdiri di depan motornya, helaan napas keluar, kedua tangannya mengusap wajahnya dan segera saja cowok mata merah gelap itu menyalakan motor dan pergi menjauh dari pemakaman umum.

Di jalan, Halilintar memikirkan matanya yang bengkak akibat menangis. Dia baru teringat jika sekarang menuju rumah, astaga... Semoga saja adek-adeknya gak ngeh dia habis nangis. Bisa diejek sama mereka, apalagi Blaze dan Taufan, rese tuh dua anak.

╞═════π– π‘Ίπ’–π’˜π’‚π’π’…π’‚π– ═════╡

Taufan menghela napas panjang, dia menatap sengit pintu rumah lalu menyilangkan tangan di dada. Gempa sialan, kenapa harus dia yang tunggu si gledek merah nyebelin itu? Tadi diterror di lembaga dan chat, sekarang nungguin? Harusnya mah si Blaze aja, dia kan mau nyari baju cosplayer buat event tahun baru.

"Lah? Ngapain di depan?" Ah, yang diomongin udah muncul aja. "Gak papa, gw nungguin lu. Habis darimana?"

"Habis dari—."

"CELANA LU KOK KOTOR?" Halilintar menunduk, dia melihat celana bagian lutut yang kotor terkena tanah. Tangan kirinya menepuk dahinya pelan, sudahlah, gak bisa dia berakting kenapa matanya bengkak. Taufan mengangang, dia menarik tangan kembarannya lalu menelungkup kedua pipi tirus milik Halilintar. "Nangis? Siapa yang bikin nangis bocil gw?"

"Apa sih? Gw gak nangis."

"Jujur aja, jangan bohong sama yang tua." Halilintar terkekeh kecil, dia mencubit pelan pipi tembam Taufan—meskipun harus jinjit—lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Gak papa, ayo masuk ke dalam rumah."

"EHH?! BENTAR DULU—." Terlambat, Halilintar membuka pintu dan melihat rumah sudah dihias dengan pita ulang tahun berwarna pink. Taufan terkejut melihat isi rumahnya yang serba pink, sedangkan Halilintar menutup wajahnya dengan satu tangan, menahan malu melihat rumahnya sendiri.

Ice dan Duri yang sedang meniup balon bergambar strawberry hanya bisa terdiam, mereka saling pandang lalu bersorak menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Solar dan Blaze yang baru saja masuk lewat belakang hanya bisa menepuk jidat, sedangkan Gempa yang sedang menyusun makanan di meja makan hanya menghela napas sambil terkekeh pelan.

"Selamat panjang umur dan bahagia~."

"Siapa yang ulang tahun?" Tanya Solar yang dibalas tunjuk ke Halilintar oleh Duri. "Tuh, si gledek."

"Apa sih? Tiba-tiba banget rumah kayak Barbie."

"Justru itu, kan kita jadi tau kalo tontonan lu itu Barbie mermaid." Halilintar menatap sengit Taufan, cowok mata biru langit itu hanya bersenandung ria lalu ikut join ke Blaze yang lagi goreng ayam.

"Gem... Coba cerita, ini ada apa?" Gempa tersenyum manis, dia berjalan mendekati Halilintar lalu menepuk pelan pundak sang kakak. "Ingat kan hari ini hari ayah?"

Halilintar mengangguk, jelas dia ingat. Barusan juga ke makam ayah, masa dia gak ngucapin, sih?

"SELAMAT HARI AYAH!!!" Suara teriakan dari dapur memenuhi seisi rumah, mereka berenam tertawa bersama dan berakhir di meja makan sambil memakan kue. Solar yang paling bontot selalu merebut kue milik Duri yang untungnya saja Halilintar memberikan kuenya ke bocah bermata silver itu, sisanya tenang dan ribut sedikit dari Blaze dan Ice yang rebutan buah strawberry.

"Ekhem!" Halilintar menoleh ke arah Solar, dia mengerutkan keningnya ketika si bontot menyerahkan coklat dengan kertas kecil bertulisan 'Happy father day!'.

"Happy father day, gledek." Halilintar tersenyum miring, dia menepuk pelan kepala Solar. Tangan kanannya mengambil coklat itu dan kembali menatap adek-adeknya yang mendekat memberikan kado untuknya.

"Selamat hari ayah, abang gledek yang serem."

"Ri?!" Duri kabur dari Halilintar, dia memakan cemilan di bangku makan paling ujung bersama Solar. Si sulung hanya menggelengkan kepalanya, dia menatap Ice dan Blaze yang kontras sekali. Dari wajahnya terlihat jelas, siapa yang gengsi dan siapa yang senang banget.

"Selamat hari ayah."

"SELAMAT HARI AYAH, WAHAI PENDEK!!" Ice memukul pundak Blaze, mereka berdua saling kejar-kejaran meninggalkan Halilintar yang terdiam menatap kado dari dua tengah Suwanda itu. Girilan Gempa dan Taufan, kedua kembarannya kini menepuk pulang kepala Halilintar, mereka mengusap rambut cowok mata merah gelap itu sampai acak-acakan lalu tertawa bersama ketika melihat wajah kesal si sulung.

"Apaan sih? Tetiba banget?"

"Selamat hari ayah, kakak!" Gempa tersenyum lembut lalu memeluk erat tubuh Halilintar, cowok mata merah gelap itu tersenyum manis, dia membalas pelukan Gempa dan menatap Taufan yang hanya tersenyum lebar di depan mereka berdua.

"Selamat hari ayah, Xavier."

"Selamat hari ayah juga, Windara."

"Kok ke gw? Kan bapak aslinya itu lu, Lin." Halilintar terkekeh kecil, dia merentangkan kedua tangannya supaya Taufan ikut memeluk dirinya. Taufan hanya menggaruk tengkuknya, dia memeluk tubuh Halilintar yang terlihat pendek darinya meskipun hanya berbeda dua sentimeter.

"Makasih Lin, lu udah ngurusin kita semua. Lain kali jangan kek bang toyib ngapa?! Demen banget di lembaga, kalo bukan Gempa yang geret, keknya lembaga jadi kamar pribadi lu."

"Makasih ya Fan, Gem, kalian berdua masih mau ngurusin gw setelah gw uring-uringan di kampus dan harus ngurus semua kelembagaan. Maafin gw, karena gw masih kurang bisa jadi ayah yang baik kayak ayah dan Taufan." Taufan menjitak kepala Halilintar, cowok mata biru langit itu memutar matanya yang dibalas gelak tawa dari Gempa dan Halilintar. Sore menjelang malam mereka bertujuh berpelukan di ruang tengah, tak lupa membuka kado apa saja yang diberikan oleh keenam adeknya itu.

"LU NGAPAIN NGASIH GW BOXER, VERONA?!"

"GANTIIN TAHUN LALU WAKTU GW DI JERMAN!! ILANG PUNYA LU!!"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berubah

Taufan

Kembali