selamat hari ayah (2)
Gentar menguap lebar, dia menatap jam dinding yang menunjukkan angka sepuluh. Memang sekarang sudah jam sepuluh dan langit sudah gelap pertanda larut akan tiba. Dia menghela napas kasar, tangannya menggaruk kepala, hari Rabu ini hari ayah? Dia baru lihat status milik kakak keempatnya, dan dia juga baru ingat jika memiliki ayah di rumah.
Jadi bingung mau beliin apa, soalnya yang paling susah dekat itu Gentar dan Sopan. Maklum, dari bayi sudah ditinggal berdikari dan diurus sama si ayah kw alias Frostfire.
Sopan menguap lebar sambil membuka pintu kamar Gentar, cowok mata kalbu itu mengucap matanya lalu menatap sang kembaran yang terdiam sambil membuka HP. "Kok belum tidur?"
"Nanti, lu ngapain ke kamar gw?"
"Kepikiran mau beliin kado ayah," Gentar menatap bingung Sopan, dia berpikir sejenak lalu menghela napas kembali. Kadang dia lupa, anak kembar itu selalu terhubung, entah secara sengaja ataupun tidak sengaja. Gentar mengayunkan tangannya, menyuruh Sopan untuk tidur di kasurnya. Sopan mengangguk, dia menutup pintu kamar Gentar lalu berjalan menuju kasur si empu, cowok mata kalbu itu merebahkan tubuhnya lalu memejamkan mata untuk kembali tertidur.
Gentar menaikkan alisnya, dia hanya menatap kembarannya yang sudah kembali tidur. Seketika cowok mata merah kecoklatan itu mendapatkan ide, dia membuka HP nya lagi lalu mencari restoran yang family friendly tapi harganya masih ramah di kantong pelajar dan pekerja UMR.
✩.・*:。≻───── ⋆𝑵𝒈𝒂𝒍𝒆𝒏𝒈𝒌𝒂⋆ ─────.•*:。✩
Frostfire menghela napas panjang, dia tersenyum manis melihat kue buatannya sudah jadi. Cowok mata biru merah itu menatap hpnya, sudah jam enam pagi. Tidak sadar jika dia membuat kue selama satu jam, memang memakan banyak waktu, tapi untuk ayahnya, akan dia buatkan.
Segera saja Frostfire membereskan semua peralatannya, dia menaruh barang-barang yang sudah di cuci dan melepaskan apron. Tak lupa menyimpan kue tersebut di kulkas dan menuliskan pesan untuk tidak menyentuh kue tersebut.
Kakinya melangkah menuju kamar Glacier, dia membuka pintu kamar adeknya lalu melihat Glacier yang masih tertidur di balik selimut. Cowok mata biru merah itu menggeleng pelan, dia mendekati adeknya lalu menarik selimut milik Glacier. Si empu bergumam pelan, dia membalikkan badannya supaya sang kakak tidak membangunkannya.
"Bangun mahasiswa akhir, jangan molor mulu."
"Hmm... Lima menit..." Frostfire menarik tangan kanan Glacier, cowok mata biru kecoklatan itu reflek duduk di kasur lalu membuka matanya perlahan. "Mas... Ngantuk banget..."
"Meh, salah siapa insomnia? Kan udah gw ajak ke perpus kemarin, malah gak mau." Glacier berdecak sebal, dia turun dari kasurnya lalu mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Frostfire menggelengkan kepalanya, memang adek unik. Untung sudah terlatih skill sabarnya, kalau tidak, mungkin Glacier dan yang lainnya sudah di asrama kampus.
"Oke, saatnya bangunin yang lain."
✩.・*:。≻───── ⋆𝑵𝒈𝒂𝒍𝒆𝒏𝒈𝒌𝒂⋆ ─────.•*:。✩
Supra menatap serius pesan dari Frostfire lalu melirik Sori yang sudah keliling mencari barang yang mereka berdua butuhkan, yap, Frostfire meminta kedua tengah Ngalengka itu membeli sarung. Sebenarnya itu hal wajar untuk membeli sarung, hanya saja, kadonya sarung banget?
"Lu mau muter sampai Paris juga gak bakalan ketemu itu sarung," Sori memutar matanya, dia mengambil salah satu kotak sarung itu lalu meraba-raba bahannya. Kurang halus dan tidak adem. Cowok mata mint itu menatap males Supra yang kini sibuk dengan hpnya, decihan keluar membuat si pemilik mata merah keemasan itu melirik kembarannya.
"Apa ya? Tadi katanya lu yang cari, gw nurut ini."
"Minimal bantu lah, jangan mainan hp mulu." Supra berjalan mendekati Sori, dia mengambil salah satu kotak sarung itu lalu meraba bahan sarung tersebut. Dia tersenyum manis, menyuruh Sori meraba bahannya. Sori meraba bahan sarung, halus, dan juga warnanya yang hitam, cepat sekali Supra mencari barang yang bagus.
"Waw, skill lu meningkat."
"Bertahan hidup nanti kalo gw dapat panggilan di daerah lain," Sori tersenyum miring ke arah Supra, dia membiarkan Supra yang membayar sarung itu lalu mereka berdua keluar dari toko. Langkah kaki yang awalnya serentak kini terhenti, tangan Sori menarik kerah baju Supra, dia menatap tajam kembarannya yang ditatap takut oleh si empu.
"Wicak? Kenapa?"
"Jawab sama gw, kapan lu jadian sama Eshvina?" matilah kau, Saneira Supra.
✩.・*:。≻───── ⋆𝑵𝒈𝒂𝒍𝒆𝒏𝒈𝒌𝒂⋆ ─────.•*:。✩
Gentar menatap toko sebrang, dia menghela napas panjang lalu berjalan mendekati Glacier yang sedang memilih jam tangan. Sedangkan Sopan duduk di depan pintu toko sambil mengibaskan kipasnya, padahal mereka ada di mall, tapi Sopan kegerahan karena disuruh mikirin kado buat mamas dan ayahnya.
"Menurut lu, ini cocok?" tanya Glacier yang dibalas dengan celengan kepala Gentar, cowok mata merah kecoklatan itu memilih jam tangan yang berada di sebelah pilihan Glacier. "Ini yang cocok, biar gak keliatan mewah banget."
Sopan menatap datar mereka berdua, dia melirik toko sebrang sebelah kanan, matanya menyipit melihat Frostfire yang berkeliling mencari kemeja formal. Segera saja cowok mata kalbu itu berdiri dan mengambil ahli pencarian jam tangan, dia berdiri diantara Gentar dan Glacier lalu memilih yang sesuai.
"Kenapa pilihnya yang formal sih jam tangannya?" tanya Glacier yang dibalas dengan helaan napas Sopan. "Kayak abang gak tau mamas aja, hidup kalo gak sederhana ya formal kayak anak keraton."
"Berarti yang gak sederhana itu kita?" tanya Gentar yang dibalas dengan enggukan kedua orang itu. "Kita kan kalo gak habisin duit mamas, tandanya anak gelandangan."
"Gelandangan banget?" Glacier memijat keningnya, dia menatap jam tangan yang dipilih Sopan lalu teringat jika jam tangan itu mirip seperti milik Frostfire waktu SMP. Seingat dia, Sopan jarang banget ngamatin kakak pertamanya karena waktu itu masih kelas satu SD.
"Dek, lu sering ke kamar mamas ya setiap pulang sekolah?" Sopan menggaruk kepalanya, dia menyengir menahan malu. Glacier terkekeh pelan, tangan kanannya menepuk pelan kepala Sopan, merasa senang karena si bontot itu selalu perhatian. Gentar menatap Sopan males, dia menatap jam tangan yang dipilihnya tadi lalu menyuruh pegawai untuk membungkus pilihannya dan pilihan Sopan.
Glacier awalnya bingung, dia merasa aneh karena Gentar tetap membeli jam tangan. Sejenak cowok mata biru kecoklatan itu berpikir, dia memasang wajah tengil membuat si abang kawasan yang ribut jadi ketakutan.
"Apa ya? Kalo fans tuh ngomong."
"Siapa juga yang ngefans sama lu, mending jawab pertanyaan gw, itu lu ngapain tetap bungkus jam tangannya?" Gentar menyipitkan matanya, dia mencolek dagu Glacier lalu kabur supaya tidak dikejar oleh sang kakak. Sopan merinding ketakutan, tidak mengira kelakuan kembarannya melebihi kakak motornya.
"AWANGGA GENTAR!"
✩.・*:。≻───── ⋆𝑵𝒈𝒂𝒍𝒆𝒏𝒈𝒌𝒂⋆ ─────.•*:。✩
Tuan Ngalengka menatap ruang tengah, beliau menatap dalam fotonya bersama keenam anaknya. Tangan kirinya mengusap bingkai foto tersebut, melihat Frostfire yang tersenyum lepas bersamanya. Anak sulungnya yang selalu membawa beban teramat berat, yang selalu menahan rasa sakitnya kini berangsur-angsur terlepas.
Beliau menghela napas panjang, menyesal meninggalkan keenam anaknya. Mengingat interaksi dengan duo bontot seakan sulit karena mereka berdua menganggap Frostfire adalah ayahnya. Tuan Ngalengka berjalan dan duduk di sofa, matanya menerawang seisi ruangan lalu terpejam merasakan keheningan yang melanda.
Beliau tertawa miris, menyadari kebodohannya selama ini. Mempertahankan pernikahannya, meminta kepada istrinya supaya tetap bersamanya dan terus mengiyakan keinginan sang istri untuk meninggalkan keenam anaknya. Beliau membuka matanya, mendengar pintu rumah terbuka dan terlihat Glacier bersama keempat adeknya masuk ke dalam rumah.
"Loh? Udah selesai jalan-jalannya?" Glacier menggaruk kepalanya, dia menatap ayahnya yang melihat keempat adeknya membawa kado. Tuan Ngalengka ingin membuka mulutnya, tetapi tak jadi karena Glacier menyuruh keempat adeknya ke kamar dan cowok mata biru kecoklatan itu pergi menuju dapur untuk menyusun bahan makanan.
Tuan Ngalengka hanya bisa menggelengkan kepalanya, beliau kembali menatap pintu rumah lalu mengerutkan keningnya. Terlihat Frostfire berdiri di depan pintu rumah, luka di wajah dan lengan kanannya menarik perhatian sang ayah. Segera saja pria setengah baya itu berdiri dan mengambil kotak P3K. Frostfire masuk ke dalam rumah, dia menutup pintunya lalu berjalan menuju sofa ruang tengah.
"Kamu ini kenapa lagi..." Frostfire menggaruk kepalanya, menceritakan bagaimana dia mendapatkan luka tersebut. Dari yang awalnya dia berniat membantu ibu-ibu yang terkena jambret, lalu dituduh dia yang jambret tas ibu-ibu itu padahal si ibu membelanya, lalu digebuk rame-rame sama orang-orang, dan beruntungnya Gentar berhasil menangkap jambret aslinya dan gantian si tukang jambret aslinya digebukin rame-rame.
Tuan Ngalengka tertawa mendengar cerita anak sulungnya, beliau mengobati Frostfire lalu mengatur napasnya setelah tertawa. "Muka mu dikira preman, le."
"Yah? Muka ku kalem pendiam begini dikira preman? Yang benar aja!"
"Kalau sekarang iya kalem, coba kamu ingat waktu SMA." Frostfire mengusap wajahnya, dia tidak ingin mengingat masa kelamnya waktu SMA. Cowok mata biru merah itu menatap sang ayah, beliau duduk di sebelah si sulung lalu menepuk pelan kepala Frostfire. "Lain kali hati-hati, banyak orang yang kadang salah paham sama perbuatan kita. Niatnya bagus, mau bantu, tapi kamu malah digebuk karena dikira preman sama orang-orang."
"Riwanda udah gede, udah biasa juga dituduh yang aneh-aneh sama orang lain. Lagian ayah gak perlu khawatir sama Riwanda, kan Riwanda itu mamas. Harus bisa kuat." ucapan sang anak membuat tuan Ngalengka terdiam sejenak, beliau seakan teringat dengan ucapan yang sama persis sebelum beliau meninggalkan keenam anaknya.
"Riwanda janji jadi mamas yang baik! Ayah tenang aja, kalo ayah sama ibuk pulang ke sini, Riwanda gak bakalan ngerepotin kalian lagi!"
Frostfire terdiam, dia mencerna isi kepalanya ketika sang ayah memeluknya erat. Matanya mengerjap kebingungan, dia membalas pelukan sang ayah supaya tidak dikira anak kurang ajar.
"Ayah kenapa—."
"Ayah minta maaf, karena ayah, kamu harus nanggung semuanya." mata biru merah itu melirik pundak lebar milik sang ayah, Frostfire mengeratkan pelukannya. Dia menyembunyikan wajahnya di pundak sang ayah, menangis dan meluapkan isi hati.
"Capek ya? Nangis aja, luapin semuanya. Ayah disini, siap dengerin kamu cerita, nak." tangisan si sulung begitu pilu, dia mulai meluapkan isi hatinya. Bagaimana dia iri dengan Glacier yang bersandar dengannya, bagaimana Supra yang bersiap menanggung resiko untuk melindungi Sori begitupun sebaliknya, dan bagaimana Gentar yang selalu memberi kebahagiaan untuk Sopan dan Sopan yang memberi kesempatan Gentar tertawa lepas.
Frostfire menceritakan semuanya kepada ayahnya, tentang dia ditinggal oleh ayah dan ibuk, bagaimana harus mengurus adek-adeknya sampai hampir putus sekolah. Kalau bukan dari keluarga sang ayah, mungkin Frostfire tidak melanjutkan pekerjaannya sekarang.
Glacier yang berada di dapur hanya bisa terdiam, dia mendengarkan semua keluh kesah kakaknya. Dadanya terasa sakit, mengingat bagaimana tingkah laku Frostfire waktu SMP dan SMA yang selalu mencari masalah di sekolah. Glacier paham, kakak sulungnya melakukan kesalahan supaya ayah dan ibuk pulang. Kenyataannya cowok mata biru merah itu selalu mendapatkan surat panggilan tanpa kejelasan, saudara ayahnya yang datang dan hanya menasehati Frostfire supaya tidak mencari masalah.
"Maaf, Riwanda malah nangis." Frostfire mengusap air matanya, dia menatap sang ayah yang tersenyum manis sambil mengusap rambutnya. "Wajar, mau dewasa atau masih anak-anak juga pasti pengen nangis lepasin semua isi hatinya. Ayah senang kamu berhasil jadi diri kamu sendiri, jagain adek-adek kamu. Tapi, kalau kamu capek, gak masalah cerita ke ayah atau Widaya, kasihan dia, dianggapnya nanti beban buat kamu."
"Enggak gitu—."
"Mas..." Frostfire dan tuan Ngalengka menoleh ke arah kanan, mereka berdua menatap Glacier yang menangis sambil membawa kue buatan Frostfire. Cowok mata biru merah itu merasa panik, takut jika adek pertamanya kembali kambuh. Saat dia membuka mulutnya, Glacier menghampiri mereka dan memeluk erat mereka berdua. Beruntung kue yang Frostfire bikin sudah taro di meja ruang tengah, jadi aman tidak jatuh.
"Huwee... Mamas... Maafin Acil..."
"Apa sih? Kenapa minta maaf?"
"Gara-gara Acil, mamas gak pernah cerita apa-apa... Mamas gak anggap Acil ya?" mata biru kecoklatan itu memerah, Frostfire menggelengkan kepalanya lalu mengusap air mata Glacier. "Enggak gitu cil, gw gak mau lu mikirin keadaan gw."
"Tapi kalo gak cerita, nanti tumbang lagi kek waktu itu." tuan Ngalengka menatap bingung kedua anaknya, Frostfire menutup mulut Glacier, tidak membocorkan rahasianya. Sayangnya tangisan yang lain menggema seisi rumah, Sori, Gentar dan Sopan berlari dan memeluk mereka bertiga sambil menangis, sedangkan Supra memalingkan mukanya. Gengsi menunjukkan bahwa dirinya khawatir dengan Frostfire.
"MAMAS JAHAT! MAMAS GAK SAYANG KITA SEMUA!!"
"Wicak?!"
"MAMAS JELEK, KALO WAKTU ITU LU GAK TUMBANG KARENA TIPES, SIAPA YANG NGERAWAT LU?" ayah terkekeh pelan, beliau menggendong Sori lalu mengusap air mata anak keempatnya. Sedangkan Gentar, Glacier dan Sopan masih memeluk erat Frostfire sambil sesegukan. "Kok nangis kalian? Mamas pernah tipes? Kok gak pernah cerita ke ayah?"
"Beboro... Itu aja dikabarin sama temannya mamas kalo dia udah kritis dua hari..." Frostfire melotot ke arah Gentar, tuan Ngalengka menggeleng pelan lalu menepuk kembali kepala anak sulungnya. Beliau menghela napas berat, memegang pundak si sulung yang terasa amat lelah. "Le, gak ada yang bisa ditahan. Kalau ayah gak ada, kamu pasti sakit lagi nanggung pundak ini. Jangan pernah diam, cerita kalau kamu benar-benar capek."
Frostfire tersenyum tipis, dia mengangguk pelan mengikuti permintaan sang ayah. Matanya menatap Sopan yang sedang mengusap air mata, dia terkekeh kecil lalu menyuruh si bontot untuk mengucapkan selamat hari ayah.
"Selamat hari ayah, mamas dan ayah." Sopan memalingkan wajahnya, tak ingin menangis lagi setelah bertatap mata dengan kedua orang itu. Dia mendorong Gentar membuat si empu hampir terjungkal, Gentar menepuk pelan pantat Sopan lalu menatap kedua orang itu sambil menggaruk tengkuknya.
"Selamat hari ayah, buat mamas, jangan galak-galak lagi, soalnya kalo galak jadi setan. Buat ayah, tolong jangan pergi lagi, jangan tinggalin kita berenam lagi." tuan Ngalengka terdiam, beliau tersenyum manis dan mengangguk. Gentar menjauhkan diri dari Frostfire dan ayah, menyuruh Sori untuk berbicara. Sori menatap tuan Ngalengka lalu menatap Frostfire, helaan napas keluar lalu tersenyum lembut.
"Selamat hari ayah, maafin Wicak yang suka pulang telat terus bikin mamas sama ayah khawatir. Maafin Wicak yang terlalu fokus sama kampus, kalau Cahya gak ngomel sampe nampar Wicak, keknya Wicak masih di kampus dan lupa punya kalian semua." tuan Ngalengka terkekeh pelan, beliau menepuk-nepuk pelan kepala Sori, memberi nasehat untuk anak keempatnya yang begitu sibuk menjabat sebagai Gubernur BEM di fakultas. Menyuruh Sori untuk menjaga diri baik-baik, tidak ingin anak-anaknya sakit. Cukup sekali melihat mereka berenam sakit, bertahan tanpa dirinya, beliau tidak ingin mereka berenam kembali merasakan seperti dulu.
Supra menggaruk kepalanya, dia menghela napas dalam-dalam lalu berjongkok dan mengucapkan kalimat yang sama seperti ketiga adeknya. "Selamat hari ayah untuk dua ayah San, pastinya mamas dan ayah. Maafin San yang bikin kalian kecewa, maafin San yang selalu bikin kalian kesal atau bikin kalian capek ngurus San. Tanpa kalian berdua, mungkin San udah gak ada di sini, mungkin San udah lawan takdir yang ditulis oleh Tuhan."
Supra menghela napasnya, dia mencium tangan Frostfire dan tuan Ngalengka. Cowok mata merah keemasan itu berdiri, menjauhkan diri dari mereka berdua dan mempersilahkan Glacier untuk memberi ucapan. Glacier tersenyum tipis, dia mengusap air mata Supra lalu kembali memeluk Frostfire. Frostfire hanya tersenyum kikuk, dia menatap sang ayah yang ikut memeluknya.
"Happy father day, mamas dan ayah. Makasih mas mau bertahan selama ini, makasih tetap Terima ayah di rumah kita, makasih mau nyusun puzzle baru lagi untuk kita berenam bersama ayah. Dan ayah, makasih udah mau kembali ke rumah ini, makasih udah mau berubah demi anak-anak ayah, maafin kita yang kadang suka bikin recok ayah di rumah." Glacier menatap Frostfire yang kembali menangis, cowok mata biru kecoklatan itu tertawa kecil. Dia menepuk kepala kakaknya, menyuruh Frostfire untuk tidak menangis lagi. Frostfire menjitak kepala Glacier, dia mengusap air matanya lalu menatap ayah.
"Ngomong plis, aku udah siapin tisu ini." Gentar dan Supra terkejut melihat dua pack tisu yang dipegang Sopan, mereka berdua menggelengkan kepala lalu ikut mengambil lembaran tisu untuk membuang ingus.
"JOROK!"
"Umbel gw mampet, mau keluarin?" Sori memasang wajah jijik, dia menjitak kepala Supra membuat seisi rumah terkekeh kecil dengan tingkah mereka. Frostfire menghela napas pelan, dia tersenyum manis lalu membuka suara.
"Happy father day, Riwanda tau kalo disini sebagai abang sekaligus ayah buat mereka berlima. Makasih ya ayah, udah mau balik. Maafin Riwanda yang masih kayak anak kecil kalo sama ayah, agak gengsi bilang ini soalnya ada bocil di sini, i love you, yah." kelima adeknya bersorak, mereka memeluk erat Frostfire dan ayah. Tuan Ngalengka menangis terharu, beliau mencium kening Frostfire dan mengusap kepala keenam anaknya. "Terima kasih, maafin ayah... Kalian semua anak hebatnya ayah."
Rumah yang selalu mereka harapkan, yang selalu mereka inginkan berhasil di bangun dengan bersama. Memang benar, hanya waktu yang bisa memperbaiki semuanya, di bangun bersama, menara ulang isi rumah, dan kembali mendapatkan kehangatan meskipun yang diperbaiki hanya sebagian.
Mungkin, di kehidupan selanjutnya, mereka bisa mendapatkan yang lengkap. Mungkin saja.
Komentar
Posting Komentar